(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku
hanya melahirkan duka lara
maka engkau datang percuma saja; bertahun sudah
gumpalan sakit berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak, tetaplah meredam sakit,
engkau berduyun datang
di penghujung waktu aku tetap saja terkepung )
ternyata harum bau tanah ternyata subur lapisan
bawah tanah
tak jua menghilangkan rasa percuma
gegap-gempita, hanya untuk sorak-sorai
orang-orang yang datang
dari kejauhan
melangkah pasti
sampai ke batas-batas kepunahan
di sini tetap sebagai rumpun-rumpun ilalang yang mati
(bila kemilau dan fuah - rahasia itu tak mampu menuntunku
ke wilayah-wilayah capaian maka amarah pun membara
sampai ke bulu-bulu mata,
akulah si Galuh Cempaka, lahir dari mitos-mitos
perkampungan
di tanah-tanah lubang pendulangan; akulah yang melagukan
derap di keheningan hutan-hutan, akulah yang melagukan
pikuk di gamang-gamang harapan, akulah yang melagukan
riwayat-riwayat perjalanan, akulah yang melagukan
kematian raja-raja
sampai berlapis-lapis turunan, akulah; laguku lagu kemilau
di lingkaran mahkota raja-raja, laguku lagu cahaya
di anggunnya suri-suri penguasa,
laguku lagu darah yang membasah di anak tangga setiap istana;
akulah yang melagukan, akulah, akulah itu sebagai lagu
si Galuh Cempaka)
ternyata kemilau itu tak jua sampai kepada harapan,
orang-orang di lingkaran lubang-lubang galian
ternyata f u a h - rahasia itu telah ditangkap
sebelum harapan, orang-orang dengan peluh setajam tirak
tetap saja berdiri kaku diam tak bergerak
ternyata riwayat dari mitos itu selalu saja
menggelinding menjauhi,
orang-orang dengan kepal mengeras di linggangan waktu pun
tak pernah berpihak
ternyata banyak riwayat perjalanan tak pernah menuntaskan,
orang-orang terjebak di dalam sulung-sulung bertingkat
ternyata perjalanan darah itu adalah sejarah,
orang-orang saling menatap di bibir lubang surut – lubang dalam
jebak lumpur kepunahan
(bila garis lurus ditarik dari Ampar Tikar Riam Kanan
Mandikapau Tiwingan
Rantau Bujur Rantau Alayung sampai
kepada Gompong Sungai Besar
dan bertemu titik di Awang Bangkal
maka adakah geriap di setiap ucap
zikir mereka, padahal ada geliat Trisakti, melewati batas
benua, ada Galuh Cempaka, sebagai wujud dari beragam
legenda, ada Galuh Bulan, bermuasal mimpi kapala lubang
ada Galuh Badu, selain bermimpi di arus bening tanah
Bati-bati,
ada yang kini terkesima dengan si Putri Malu mimpi
yang terputus
dalam igau tidurmu, wahai para pendulang yang duduk
termangu, dari dahulu
sampai sejarah berulang kini, tetap duduk termangu
bila musim hujan datang
menerjang sepi lingkaran linggang-linggang melepas
goyang goyang di riak
pemisah batu lumpur dan kemilau sampai berharap sampai
berangan menjauh tangkap di lunas kaki berpijak; sampai
desauku di pelepah dahan
sampai risauku di rimbun daun, sampai galauku di rimbun
tulang; akulah si Galuh Cempaka asal pungkala sebab
darahku meriap sampai di bulu-bulu mata)
lagu hujan di lubang-lubang galian
lagu sampai para pendulang
sejarah batu melepas mimpi
berangan-harap sampai di gigil tulang
lubang-lubang merekah lubang-lubang luas menganga
sulung-sulung waktu itu melinggis darahku, darah si Galuh Cempaka
nasib yang bertali beban
pundak dan langkah terseret dirunduk ngilu
pusara pusara pusara, tak mampu menepis enyah
pusaka pusaka pusaka, tak mampu menipis resah
lagu-lagu di turunan hujan itu selalu saja
melempar lambai anak-anak gemulai
lagu-lagu di tikungan hujan itu sama saja
menolak lambai wanita-wanita penunggu belai
lagu-lagu hujan itu, sebagai penanda
riwayat sedih datang berulang
lagu-lagu hujan itu
(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku
hanya melahirkan duka lara
maka engkau datang percuma saja; bertahun sudah
gumpalan sakit berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak, tetaplah meredam sakit, engkau
berduyun datang
di penghujung waktu aku tetap saja terkepung )
bulu mataku bulu si Galuh Cempaka
tiris atap rumahku
tak sebanding kilau melepaskan cahaya
(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku
hanya melahirkan duka lara
maka engkau datang percuma saja; bertahun sudah
gumpalan sakit berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak, tetaplah meredam sakit, engkau
berduyun datang
di penghujung waktu aku tetap saja terkepung )
/asa, banjarbaru, 21 desember 2008
=ALI SYAMSUDIN ARSY=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar