Gunung Rajabasa
Anggun tapi angker
para kampret itu loyo
capek
gemetaran
dengan perut yang sangat lapar
tubuh yang kedinginan
dan semangat yang hancur
kepak sayap mereka berat
lantaran bulu-bulu mereka basah
kecepatan terbang mereka
paling banter cuma 40 km per jam
kadang-kadang mereka oleng
ingin sekali makan
ingin sekali mencaplok apa saja
tapi kerena hari sudah keburu siang
mereka pun bergelayutan di gerumbulan
semak-semak
di dahan-dahan kopi
di ranting-ranting cengkeh
banyak pula yang terpaksa
bergeletakan di tanah
seharian mereka keleleran dipanggang matahari
banyak yang tidak tahan
lalu langsung megap-megap dan mati
Menghadapi kenyataan yang
mengenaskan ini beberapa kampret
yang IQ nya di atas 100 langsung protes
“Bagaimana ini nasib kami
Kok sembarangan saja sih yang
ngarang buku ini.”
“Enak saja kami dibikin susah terus.”
“Mestinya kan sewaktu kami nyebrang
selat Sunda dibikin bagus
Tenang, langit cerah, ada bulan.”
“E, badai disuruh datang
pakai ngasih tahu Nyai Roro Kidul segala.”
“Bagaimana ini Oom?”
“Apa?
Ada masalah apa?”
Kan Oom yang ngarang buku ini kan?”
“Ya, betul.”
“Kami para kampret jadi tokoh utamanya kan?”
“Iya.”
“Kok kami dibikin susah terus,
sengsara terus.”
“Itu namanya tidak bertanggungjawab dong.”
“Masa kami dibiarkan keleleran di Gunung
Rajabasa begini.”
“Kami protes keras.”
“Kami mau batalkan kontrak.”
“Sudahlah cari tokoh lain saja sana.”
“Iya, kambing kek atau tokek
atau macan
kan masih banyak bintang lain
manusia juga banyak yang mau jadi tokoh.”
“Ayo teman-teman kita pulang saja.”
“Kita berhenti jadi tokoh.”
“Hore!”
“Kita bebas!”
“Merdeka.”
“Kita kembali merdeka.”
“Penyair brengsek.”
“Otoriter.”
“Sok mengatur.”
“Penyair memang manusia yang paling gombal
di Republik Indonesia
Lain lo dengan Menteri Lingkungan.”
“Ya, beda sekali dengan bintang film.”
“Sudah situ Oom tinggal saja sendirian
di Gunung Rajabasa.”
“Rasain lu,
kelaparan, haus
capek
mamphus.”
“Ayo semua pergi
biar si Oom itu ngarang tentang
Gunung Rajabasa atau batu.”
Gunung Rajabasa siang itu sepi
sebagai penyair aku sangat masygul
para kampret itu menghilang
meninggalkan diriku sendirian
memang ada pohon cengkeh
ada pohon kopi
ada belalang dan batu-batu
ada angin
langit dan matahari juga tampak bagus
tapi apa mereka bisa begitu saja
mengambil oper peran para kampret
tidak mungkin
aku lalu kencing dan berjalan mendaki
menyusuri jalan setapak
napas saya tersengal-sengal
Inilah kalau orang kota
yang umurnya sudah 43
naik Gunung Rajabasa
Ya repot
tanpa bekal apa-apa lagi
sudah lapar, capek
juga ngantuk
di sebuah tempat yang agak datar
aku lalu beristirahat dan ambil napas
namun baru saja aku santai sejenak
ada dua orang petani suami istri
yang berlarian dari atas sambil
menenteng golok
aku kaget
“Awas lo Oom
Jangan naik
Di atas sana banyak sekali kelelawar.”
“Iya oom ayo turun saja
Sepertinya itu tadi hantu kelelawar tampaknya.”
Belum sempat aku bertanya lebih lanjut
dua petani tadi sudah keburu ngabur ke bawah
dan tiba-tiba semangatku kembali pulih
kekuatanku datang lagi
tak ada lagi lapar
capek, ngantuk
dengan semangat tinggi aku melompat
lalu berlarian mendaki
kadang-kadang harus berpegangan
pokok-pokok kopi
aku terus berlari
dan di sebuah dataran yang agak rata
tampak banyak sekali kampret
yang bergelayutan di gerumbulan
dan dahan-dahan kopi
napasku tersengal
seperti mau putus
“Ngapain Oom lari-lari begitu?
Olahraga ni ye?”
Setelah ambil napas dan berpegangan
rumput-rumput
baru aku bisa ngomong
“Lo kalian masih di sini?
Tidak ikut yang lain-lain itu?”
“Tidak Oom
Kan kami tokoh buku ini
Apapun yang terjadi
Kami harus tetap di buku ini.”
Aku terharu
para kampret itu kusalami satu-satu
sampai aku benar-benar loyo
ternyata masih ada kampret yang
mau jadi tokohku
meskipun jumlahnya tidak banyak
paling tinggal ratusan.
“Ada berapa banyak sih pret?”
“Dua ratus Oom.”
“Yah, lumayan
lebih baik sedikit tapi bermutu
daripada banyak tapi gombal
masak pengarangnya dimaki-maki.
Sudahlah prĂȘt.
Hari ini kita istirahat total
nanti malam kita jalan lagi
Okey?”
“Okey Oom!”
=F. RAHARDI=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar