Ketika sampai di Dermaga Baloang
ramai sopir angkutan menawarkan tumpangan,
“Pengembara, pengembara! Ayo naik motor becakku.
Tak berlaku syariat di Sabang. Mari kita bergembira.”
Kota Sabang menyambutku dengan gerimis
wajah keriput Hokkien ada di saku baju
satu alamatnya kutemukan di lipatan kertas kopi
kuserahkan ransel lusuhku untuk diperiksa
apakah kita masih bersaudara?
Kususuri gedung tua tak bernomor
memantulkan tubuh renta kakekku
yang dikirim Belanda sebagai pesakitan.
Kuketuki pintu reyot pertokoan
ruang kosong menahan rindu tanah leluhur
tak kulihat kebun kopi di dalamnya
Hokkien renta menawarkan malam kepadaku
menyeduh kopi plastik di trotoar jalan
sudah bergelas kopi malam ini dihabiskan
untuk harapan digantung di lampu jalan
“Pemimpinku tak paham pergaulan.
Dermaga kosong. Pulauku ketinggalan zaman.
Aku katak dalam tempurung,” kauaduk
kopi gelasmu hingga keruh.
Kuhirup seteguk kopi rasa gula aneh di lidah
yang kuminum tadi pasti bungkus plastiknya.
Hotel Pum, Sabang, Pulau Weh, 3 Mei 2013
=GOL A. GONG=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar