selembar harapkah yang terbayang ketika restumu
membuka jalannya
menuju harum tanah, tanah seberang
Segumpal salahkah yang membentang ketika badai itu
merintang langkahnya
menuju diam, diam sediam batu
seperti kabar telah disampaikan bahwa kedatangan putramu
mengetuk daun-daun pintu, sebelum terbuka
lantaran angin menderu
engkau telah bertahun-tahun penantian; rumah
tak lagi berpintu,
jendela, perintang cahaya pagi, terbuka selalu
mata lusuh sampai ke batas-batas kelu
alas bantalmu, alam bantalmu; adalah wajahnya
yang engkau tunggu
naluri seorang ibu, harum baju dan lambai kerena restumu
dahulu, sejarah yang itu menuju kekosongan waktu
ujung jemari yang kian gemetar, tegak melurus lidi sapu
“… anakku anakku, ia yang berdiri itulah anakku
singkirlah ke tepi, dermaga ini telah lama mati
selaksa hari yang memenuhi hari-hari
hanya menanti, tak ada yang lain, hanya menanti
biji-biji kapuk di bantalku bertumbuhan daun-daun
air mataku telah menghumuskan pembaringan
antara gerai rambutku yang terselip di sela-sela bayangmu
pelupuk mata ini tak dapat berpejam sebelum hadir
aroma tubuh kecilmu, teramat kukenal selalu …”
di langit, elang mengepak berputar-putar
kulik-kuliknya menyambut putramu di balik bukit perahu
di sini, di rerimbun daun dan gemericik air di batu-batu
sejarah, entah dalam catatan siapa, telah terbaca
beragam aksara
tentang hebatnya gemuruh samudera
dari gigil yang dilontar, dalam tengadah
“… anakku anakku, ia yang berpaling itulah anakku
singkirlah ke tepi, dermaga ini telah lama mati!!!”
/asa, banjarbaru, 12 januari 2011
=ALI SYAMSUDIN ARSY=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar