Jika bumi, langit, dan seisinya dicipta selama
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum hari pertama, dan jauh setelah
hari keenam? “Aku tak hendak mengatakan:
Tuhan adalah pengangguran,” katamu.
Aku coba tersenyum. Pedih. Lalu tengadah—
Bulan malas merekah. Langit irit bintang.
Pada malam dingin di sebuah negeri berkabut
awal November tahun ini, entah:
telah berapa jauh waktu berlalu
Berapa jauh jaraknya dari hari keenam—
usai penciptaan.
Pada hari puncak itu, “Setelah segala air di bawah langit
berkumpul pada satu tempat”, dan menjelma lautan,
dan Tuhan mengalungkan nama pada tanah kering itu
“darat”, Ia melihat: “Semuanya itu baik”. Baik.
Tapi, tak tahukah Ia: apa yang akan terjadi
sesudah itu, jauh setelah hari keenam?
Apa lagi yang akan terjadi, misalnya:
setelah Semanggi, Sambas, Aceh, atau Jimbaran?
Malam larut. Bumi redup. Langit memercikkan gerimis
Sebentar lagi mungkin hujan akan mengguyur
kota-kota. Detik ini, apa yang dilakukan Tuhan?
Aku tak tahu. Seperti aku tak tahu nasibku,
dan nasib anak-anakku– esok, di negeri ini
setelah semua tangisku berakhir, dan kapalku berangkat
dalam debu.
Jakarta, 2005
=AHMAD NURULLAH=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar