di Bentar Utara
di langit yang sekuning Van Gogh
kapinis menggores sebentuk tangis
untukmu, yang masih si pewaris
bayang-bayang Izrail
akhirnya, takluk pada kesia-siaan
pada seruling krem yang kaumainkan
aku rasakan segala yang berguguran
seperti doa Ayub penghabisan
seperti juga jerit sorgawi
pada ronamu y ang kini semerah amarah
pada hitam pastel bayang-bayang soremu
tatapanmu yang keliru, dulu, ketika aku
mengajarimu di gubuk ini dan terkejut
bahwa yang meleleh di tubuh-tubuh itu
nyatanya, seperti kerianganmu yang dulu
nyatanya, semuanya telah tiada!
ketika kita masih bagai perunggu; jiwa yang lugu
dengan tenang, bercerita tentang gadis bibir elastis
matanya yang sebulat purnama atau direbut purnama
di sore yang agung, saat awan-awan putih
menggores langit dengan jemarinya yang santun
mungkin, sedetik sebelum kepedihan mengental
mengental dan dalam
bagai seribu paku berkarat di jantungku
mengental dan dalam
bagai membekunya ujung peluru
kepulangan burung-burung itu
menggarisbawahi nama kita
untuk kematian hari esok
lepas dari seluruh yang telah tiada
Bentar Utara
di mana dendam pada beribu-ribu
gerutu sang suhu
di mana kau
dan hela nafas menjadi
secepat panah mengarah
di mana adzan
juga awan yang bagai kafan
seperti dipersiapkan
bagi sisa iman kita yang sebenarnya
tapi sungguh, dari seruling krem penghabisan
dari ritme-ritme dan tanda seru yang berhamburan itu
tiba-tiba aku ingin melihat sang Suri sedekat mungkin
menyentuh kedua pipinya, seperti menyentuh lelehan lilin
aku pahami benar itu isyarat atau tiga cakar bekisar di matamu
tapi detik ini, rasanya ingin kematian menjadi halus bagiku
2001
=AHMAD FAISAL IMRON=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar