apabila seorang pencuri tersungkur di sungai itu
ia sama lusuhnya dengan ingatanku saat ini
begitulah, di stasiun kelabu, pualam-pualam berdebu
seperti sebuah masa lalu yang sangat lengkap bagiku
dan kenapa aku hanya menyimpan sebuah memo
alamat-alamat lokal, nomor-nomor yang sesat
begitulah, penemuan ini tak dapat dibandingkan
udara senantiasa membusuk, lebat di tubuhku
seakan-akan menjadi sandera bagi setiap manusia
di taman-taman, sebuah galeri yang hening
sepanjang jalan utama, taring-taring cahaya
bahkan di halte-halte di mana waktu berlalu
Tuhan seperti tak mengenal lagi kata-kataku
kota ini benar-benar mewariskan berbagai kesombongan
dengan label di kepala atau hurup lain di awal namanya
akan kukabarkan pula keganjilan-keganjilan ini:
kota yang hanya memiliki sedikit bukit
gedung-gedung yang merobek selaput cakrawala
sayap-sayap sunyi, sejauh ia melarikan diri
masih pula ia mengeram dalam setiap nyanyian
nada-nada dingin, kenikmatan dari sebuah senapan
di bibir trotoar saat kulihat seorang lelaki
tak dapat menyebrangi akalnya sendiri
seorang lelaki lain kulihat jidatnya mengkilat
ada yang mencari wajahnya di balik jendela kaca
sementara aku telah kehilangan sebuah peta
siang begitu bertaring
kebisingan berdenting
dan bagai nafas rajawali
kutahan kegelisahan ini
dan bagai seorang pertapa
kubiarkan lapar sempurna
itulah sebabnya mengapa bebanku selalu berkurang
di angkasa, setiap kali kulihat sang saka mengerang
peluru-peluru rahasia, membuat kota ini berlubang
begitulah, aku melangkah lagi
aku tinggalkan segala apa yang disebut keniscayaan
aku lupakan orang-orang dengan semua kejayaan
sebab aku telah menamainya: para pemabuk masa depan
1998
=AHMAD FAISAL IMRON=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar