Sabtu, 01 Agustus 2015

KESAKSIAN BAPAK SAIJAH karya : W.S Rendra

Ketika mereka bacok leherku,

dan parang menghunjam ke tubuhku

berulang kali,

kemudian mereka rampas kerbauku,

aku agak heran

bahwa tubuhku mengucurkan darah.

Sebetulnya sebelum mereka bunuh

sudah lama aku mati.

 

Hidup tanpa pilihan

menjadi rakyat Sang Adipati

bagaikan hidup tanpa kesadaran,

sebab kesadaran dianggap tantangan

                                        kekuasaan.

Hidup tanpa daya

sebab daya ditindih ketakutan.

Setiap hari seperti mati berulang kali.

Setiap saat berharap menjadi semut

agar bisa tidak kelihatan.

 

Sekarang setelah mati

baru aku menyadari

bahwa ketakutan membantu penindasan,

dan sikap tidak berdaya

menyuburkan ketidakadilan.

 

 

Aku sesali tatanan hidup

yang mengurung rakyat sehingga tak berdaya.

Meski tahu akan dihukum tanpa dosa,

meski merasa akan dibunuh semena-mena,

sampai saat badan meregang melepas nyawa,

aku tak pernah mengangkat tangan

untuk menangkis atau melawan.

Pikiran dan batin

tidak berani angkat suara

karena tidak punya kata-kata.

 

Baru sekarang setelah mati

aku sadar ingin bicara                                      

memberikan kesaksian.

 

O, gunung dan lembah tanah Jawa!

Apakah kamu surga atau kuburan raya?

O, tanah Jawa,

bunda yang bunting senantiasa,

ternyata para putramu

tak mampu membelamu.

 

O, kali yang membawa kesuburan,

akhirnya samudera menampung air mata.

Panen yang berlimpah setiap tahun

bukanlah rezeki petani yang menanamnya.

 

O, para Adipati Tanah Jawa!

Tatanan hidup yang kalian tegakkan

ternyata menjadi tatanan kemandulan.

Tatanan yang tak mampu mencerdaskan

                                      bangsa.

Akhirnya kita dijajah oleh Belanda.

Hidup tanpa pilihan

adalah hidup penuh sesalan.

Rasa putus asa

menjadi bara dendam.

Dendam yang tidak berdaya

membusukkan kehidupan.

Apa yang seharusnya diucapkan

tidak menemukan kata-kata.

Apa yang seharusnya dilakukan

tidak mendapat dorongannya.

 

Kesaksianku ini

kesaksian orang mati

yang terlambat diucapkan.

Hendaknya ia menjadi batu nisan

bagi mayatku yang dianggap hilang

karena ditendang ke dalam jurang.



 

Depok, 17 Januari 1991

=W.S. RENDRA=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar