Sabtu, 01 Agustus 2015

ORANG BIASA karya : W. S. Rendra

Apa artinya sebidang tanah?

Apa artinya rumah?

Apa artinya jauh dari sejarah?

 

Semuanya itu terkait

di dalam kisah hidupku.

 

Setelah pensiun

sebagai guru SD di Rangkasbitung,

aku menetap di sini.

Sebuah desa kecil, di pinggir kota itu.

 

Untung aku dulu sempat membeli tanah ini.

Memang murah, tetapi cocok dengan

gaji guru.

Dua puluh kali tujuh puluh meter.

Memanjang ke belakang.

Dengan pagar batu kali. Separoh badan.

Ketika istriku tercinta wafat,

aku makamkan ia di kebun belakang

di bawah pohon gandaria.

 

Di malam musim kemarau,

angin sangat berharga.

Langit berdandan dengan beribu-ribu intan.

Ada suara serangga-serangga malam.

Ada suara anak-anak belajar mengaji.

Kami termenung dan terpesona.

Aku dan gandaria.

 

Dekat setelah aku pensiun,

tanahku jadi korban pembangunan.

Tinggal dua puluh kali tiga puluh meter.

Akibat proyek jalan raya.

 

Hilanglah pohon-pohon nangka.

Bahkan rumah juga dibongkar.

Tinggal tanah enam ratus meter persegi,

pagar batu kali separoh badan,

rumpun bunga kana,

kuburan istriku,

dan gandaria.

Uang ganti rugi aku berikan kepada putra

bungsuku.

Untuk belajar ke Yogya.

Sekarang ia pembantu rektor di Gadjah

Mada.

 

Putraku yang pertama seorang ksatria

pangkatnya jendral, jabatannya panglima.

Anakku yang kedua wanita.

Kawin dengan bangkir Jepang, tinggal di

Osaka.

 

Putraku yang bungsu tidak banyak bicara.

Ia terlalu mengerti sifat ayahnya.

Tetapi kedua anakku yang lain banyak

bicara.

Karena tak paham dan juga tak tega.

“Kenapa sisa tanah tidak dijual saja?

Dan ayah tinggal bersama kami.”

 

Tidak

aku akan menetap di sini sampai mati.

Di bawah naungan gandaria.

 

Apakah aku bertahan

karena kuburan almarhum istriku?

Tidak.

Batu nisan yang aku dirikan

hanya berguna untuk kami yang hidup.

Sebagai aktualisasi rasa hormat dan cinta.

Kuburan bisa dipindah kapan saja dan

di mana saja.

Di akhirat, di mana istriku berada,

suatu kuburan tak ada maknanya.

 

Lalu apakah karena ikatan

kepada tanah tumpah darah?

Jelas tidak.

Aku lahir di desa Sengon, Yogyakarta.

Setelah tamat Sekolah Guru Bawah

aku hanya punya satu lowongan

tanpa lain pilihan:

sebuah Sekolah Dasar

di Rangkasbitung.

 

Barangkali ada ikatan sejarah?

Juga tidak.

Di zaman revolusi kemerdekaan,

meskipun aku masih sangat muda,

aku di Mranggen ikut bergerilya,

melawan imperialis Inggris dan Belanda.

Tidak. Tidak.

Di Rangkasbitung

aku tidak pernah terlibat dalam sejarah besar.

Aku hanya mengajar di Sekolah Dasar

sampai pensiun,

dan tanahku terpotong

gara-gara pembangunan jalan raya.

Jelas ini bukan sejarah nasional

apalagi internasional.

 

Putriku bertanya:

“Apakah ayah benar mencintai Rangkasbitung?”

Ya! Dengan tegas: ya!

“Tetapi tempat macam apa ini?

Cuma Rangkasbitung!

Tidak sebanding dengan Osaka!”

Cuma Rangkasbitung!

Dan saya: cuma manusia.

Cuma guru SD. Sudah pensiun pula.

Jangan berkata “cuma”

kalau bicara tentang cinta.

Cinta itu peristiwa dalam roh.

Roh. Bagaimana bisa dijelaskan dengan akal.

Kita hanya bisa melukiskan bayangannya

yang ragamnya berlaksa-laksa.

Peristiwa di dalam roh tak bisa dijelaskan.

Ia hanya bisa dialami.

Apakah kami bisa mengalami

pengalaman rohku?

 

Ya. Memang.

Rohku mencinta

Rangkasbitung.

Dan:

gandaria!

 

Hm. Gandaria!

Bahkan bukan aku menanamnya.

Ia sudah ada waktu tanah ini kubeli.

Aku sendiri kehabisan kata-kata.

Aku sendiri tak bisa mengerti.

Aku. Rangkasbitung. Gandaria.

Jadi.

 

Dari bangkai pohon nangka,

beberapa batang bambu,

genteng, dan paku,

aku dirikan rumahku ini.

Rumah bilik. Empat kali lima meter.

Kuat. Hangat. Rapi. Sempurna.

Sisa halamannya aku tanami pepaya-pepaya,

dan rumpun pisang tanduk.

Aku tidak ingin apa-apa lagi.

 

Putraku yang pertama berkata:

“Ayah kurang ambisi.

Kalau ayah mau

bisa menjadi lebih dari sekadar guru.”

 

Salah lagi.

Jangan disangka aku tidak pernah mencoba

pengalaman lainnya.

Menjadi tentara. Agen koran.

Penagih rekening. Mengurus restoran.

Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan

diriku

apabila menjadi guru.

Semangatku bergelora,

gairah hidupku menyala,

dalam suka maupun duka,

apabila aku menjadi guru.

Memang tidak istimewa untuk ukuran dunia.

Sangat, sangat biasa.

Tetapi aku, Rangkasbitung dan gandaria,

sebenar-benarnya,

adalah sangat, sangat biasa.

 

Kenapa anak-anakku menjadi gelisah,

hanya karena aku mantap menjadi

orang biasa?

Aku bukan panglima. Aku bukan bankir.

Bahwa aku mendapat ijazah itu

sudah anugerah.

Ilmu hitung dan bahasa Inggris mendapat

nilai lima.

Tetapi! Te-ta-pi …

aku bukan orang yang putus asa

ataupun menderita.

Aku gembira.

Dan aku juga tidak rendah diri.

Aku bangga.

Sangat bangga.

Hidupku indah.

Bukannya aku tidak pernah terganggu

oleh suara lalu lintas jahanam

yang tepat berada di depan hidungku.

Tetapi aku juga melihat

kilasan-kilasan wajah sopir truk,

orang-orang desa yang berjejal naik bis,

orang-orang bule diangkut travel-bureau,

dan debu, dan matahari,

dan percayalah:

pada saat seperti itu

alam semesta terbuka.

Aku masuk ke dalam pangkuannya.

Aku mendengar suara-suara

Sumatra, India, Eropa,

Peru, Australia.

Juga suara-suara kabut di langit,

cacing di tanah, hiu di lautan.

Aku mencium bau minyak rambut ibuku,

bau lemak di kulit Jengis Khan,

bau kulit susu istriku.

Matahari dan rembulan hadir bersama.

Luar biasa. Alangkah indahnya.

Allahu Akbar. Allahu Akbar.

 

Anak-anakku.

Alangkah indahnya.

Alangkah, alangkahnya …

Bismillahir Rahmaanir Rahiim.

Alhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

Ar Rahmaanir Rahiim.

Maaliki yaumiddiin.

Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.

Ihdinash shiraathal mustaqiim.

Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil

maghdubi

‘alaihim wa

ladh dhaaliin.

Amin.

 



Bojong Gede, 7 Nopember 1990 

=W. S. RENDRA=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar