Sabtu, 01 Agustus 2015

DEMI ORANG ORANG RANGKASBITUNG karya : W. S. Rendra

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,

Salam sejahtera!

Nama saya Multatuli

Datang dari masa lalu.

Dahulu abdi Kerajaan Belanda,

ditugaskan di Rangkasbitung,

ibukota Lebak saat itu.

Satu pengalaman penuh ujian.

Rakyat ditindas oleh bupadi mereka sendiri.

Petani hanya bisa berkeringat,

tidak bisa tertawa,

dan hak pribadi diperkosa.

 

Demi kepentingan penjajahan,

Kerajaan Belanda bersekutu dengan

kejahatan ini.

Sia-sia saya mencegahnya.

Kalah dan tidak berdaya.

 

Saya telah menyaksikan

bagaimana keadilan telah dikalahkan

oleh para penguasa

dengan gaya yang anggun

dan sikap yang gagah.

Tanpa ada ungkapan kekejaman

di wajah mereka.

Dengan bahasa yang rapi

mereka keluarkan keputusan-keputusan

yang tidak adil terhadap rakyat.

Serta dengan budi bahasa yang halus

mereka saling membagi keuntungan

yang mereka dapat dari rakyat

yang kehilangan tanah dan ternaknya.

Ya, semuanya dilakukan

sebagai suatu kewajaran.

 

Dan bangsa kami di negeri Belanda

pada hari Minggu berpakaian rapi,

berdoa dengan tekun.

Sesudah itu bersantap bersama,

menghayati gaya peradaban tinggi,

bersama sanak keluarga,

menghindari perkataan kotor,

dan selalu berbicara

dalam tata bahasa yang patut,

sambil membanggakan keuntungan besar

di dalam perdagangan kopi,

sebagai hasil yang efisien

dari tanam paksa di tanah jajahan.

Dengan perasaan mulia dan bangga

kami berbicara

tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.

Ya, begitulah.

Kami selalu mencuci tangan sebelum makan

dan kami meletakkan serbet

di pangkuan kami.

Dengan kemuliaan yang sama pula

ketika kami memerintahkan para marsose

agar membantai orang-orang Maluku dan

orang-orang Java

yang mencoba mempertahankan

kedaulatan mereka!

Ya, kami adalah bangsa

yang tidak pernah lupa mencuci tangan.

 

Kita bisa menjadi sangat lelah

apabila merenungkan gambaran kemanusiaan

dewasa ini.

Orang Belanda dahulu

juga mempunyai keluh kesah yang sama

apabila berbicara tentang keadaan mereka

di zaman penjajahan oleh Spanyol.

Mereka memberi nama yang buruk

kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.

Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik

dari Pangeran yang jahat itu?

 

Tentu tidak hanya saya

yang merasa gelisah

terhadap dawat hitam

yang menodai iman kita.

Pikiran yang lurus menjadi bercela

karena tidak pernah bisa tuntas

dalam menangani keadilan.

Sementara waktu terus berjalan

dan terus memperlihatkan keluasan

keadaannya.

Kita tidak bisa seimbang

dalam menciptakan keluasan ruang

di dalam pemikiran kita.

Memang kita telah bisa berpikir

lebih canggih dan kompleks,

tetapi belum bisa lebih bebas

tanpa sekat-sekat

dibanding dengan keluasan waktu.

Bagaimana keadilan bisa ditangani

dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?

Ya, saya rasa kita memang lelah.

Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.

 

Bukankah keadaan keadilan di sini

belum lebih baik dari zaman penjajahan?

Dahulu rakyat Rangkasbitung

tidak mempunyai hak hukum

apabila mereka berhadapan kepentingan

dengan Adipati Lebak.

Sekarang

apakah rakyat kecil

sudah mempunyai hak hukum

apabila mereka berhadapan kepentingan

dengan Adipati-adipati masa kini?

Dahulu

Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.

Sekarang

Adipati-adipati yang kejam dan serakah

apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?

Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu

adalah kemerdekaan negara dan bangsa?

Negara anda sudah merdeka.

Tetapi apakah bangsa anda juga

sudah merdeka?

Apakah bangsa tanpa hak hukum

bisa disebut bangsa merdeka?

 

Para pemimpin negara-negara maju

bisa menitikkan air mata

apabila mereka berbicara tentang democratie

kepada para putranya.

Tetapi dari kolam renang

dengan sangat santai dan penuh kewajaran

mereka mengangkat telefoon

untuk memberikan dukungan

kepada para tiran dari negara lain

demi keuntungan-keuntungan materi bangsa

mereka sendiri.

 

Oh! Ya, Tuhan!

Saya mengatakan semua ini

sambil merasakan rasa lemas

yang menghinggapi seluruh tubuh saya.

Saya mencoba tetap bisa berdiri

meskipun rasanya

tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.

Saya sedang melawan perasaan sia-sia.

Saya melihat

negara-negara maju memberikan

bantuan ekonomi.

Dan sebagai hasilnya

banyak rakyat dari dunia berkembang

kehilangan tanah mereka,

supaya orang kaya bisa main golf,

atau supaya ada bendungan

yang memberikan sumber tenaga listrik

bagi industri dengan modal asing.

Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,

mendapat ganti rugi

untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya

dengan uang yang sama nilainya

dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.

 

Barangkali kehadiran saya sekarang

mulai tidak mengenakkan suasana?

Keadaan ini dulu sudah saya alami.

Apakah orang seperti saya harus dilanda

oleh sejarah?

Tetapi ingat:

sementara sejarah selalu melahirkan

masalah ketidakadilan,

tetapi ia juga selalu melahirkan

orang seperti saya.

Menyadari hal ini

tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.

 

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,

kita sama-sama memahami sejarah.

Senang atau tidak senang

ternyata tuan-tuan tidak bisa

meniadakan saya.

Nama saya Multatuli

saya bukan buku yang bisa dilarang

dan dibakar.

Juga bukan benteng yang bisa

dihancurleburkan.

Saya Multatuli:

sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.

Oleh karena itu

saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.

 

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,

apabila ada keadaan yang celaka,

apakah perlu ditambah celaka lagi?

Pada intinya inilah pertanyaan sejarah

kepada anda semua.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya

yang hadir di sini,

setelah memahami sejarah,

saya betul tidak lagi merasa sepi.

Dan memang tidak relevan lagi bagi saya

untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,

sebab jelaslah sudah kewajiban saya.

Ialah: hadir dan mengalir.

 

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,

terima kasih.

 



Bojong Gede, 5 Nopember 1990

=W. S. RENDRA= 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar