Di bawah nujum kabut, aku gemetar
dalammu. Setetes air membentuk
bayangan pada jiwaku.
Seratus kupu-kupu sekarat
dan aku menghijau seolah nyanyian
nyanyian tua yang menjelma suara-suara gaib
di dalam nafsuku. Ruhku memanggil teriakan-teriakan daun
yang mengental dalam mimpiku.
Jari-jemariku menyala oleh hujan muram
dua ratus tahun.
Seperti sayatan-sayatan angin
yang mengelupas rupa
musim di wajahku,
kesunyianku menjelma
seekor angsa, hari-hari kemarin
mengering di dalam nadiku. Seteguk bianglala gemas,
tapi kureguk bara yang tumbuh banal
di puncak pelirku.
Jenazahku mengerut,
lebih lindap daripada tanah
tanah tandus yang menguliti iklim
serupa gempal pantatmu.
Doaku tak lagi keramat. Payudaramu buncah,
menikam mulutku. Di farjimu, seribu kunang-kunang mampus.
Cuaca lebih hitam daripada warna kulitku.
Aku melayang sendiri serupa
malaikat-malaikat murung
di dasar kematianku.
Aku mencintaimu, sayap-sayap kemerahan mengekalkan
raut iblis yang memecut syahwatku.
Tapi seluruh kekosongan berkilau,
lebih garang daripada aroma kesedihanku.
Aku membelatung,
burung-burung mati
tanpa sepengetahuanku.
Seluruh rasa sakit menghiasi
kepalaku dengan kilat yang meledakkan
bangkai-bangkai geludhuk.
Laut yang jauh berdebur,
menyampaikan kelu.
Dengarlah olehmu requime-requime mistis kepedihan
yang melontarkan bola-bola bara
ke jurang anusku. Kelak seluruh pembantaian
terasa indah. Patung-patung
kuyup menghidupi kegelapanku.
Kini, kulupakan matahari dan malam
menyerpih bersama ajalku. Kota-kota raib,
seluruh kenyataan lenyap dari ingatanku.
=INDRA TJAHYADI=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar