Minggu, 27 September 2015

RADIN karya : Isbedy Stiawan Z. S.

kita pun berpisah setelah meliwati sungai itu, tak ada lambai
karena daun-daun melinjo sudah luruh bersama puting
yang kau katakan sebagai baling-baling
mungkin esok pagi saat matahari tumbuh dari sebalik pohon
aku akan temukan wajah lain, si radin yang pernah
berdiri di depan: di tepi pantai. mengusir kapal-kapal meneer
yang mau menghabisi lada, kopi, dan...

aku teringat lagi tatkala radin bertanya: “api ubat malu, ibu?”
lalu ibu menjawab, “mati!” sejak itu aku diajarkan untuk
tidak pernah ingin malu, kujaga segala marwahku
“aku tak ingin mati menanggung malu, ibu!”
itu sebabnya kutaruh usiaku di rumahmu, kuminta kau
menjaganya hingga aku kembali membawa yang kau mau

meski sudah berapa dermaga kusinggahi, berapa kali kapalku
berlabuh. tak juga kudapati rempah-rempah itu: lada, kopi...
palka kapalku tak pernah bermuatan. lama aku di lautan ini,
mencari tanda di mana gunung rajabasa, atau batuserampok
yang kokoh itu? itulah mercusuarku untuk aku berlabuh.

jika tak kutemukan, aku akan kembali ke laut lepas

sebagai radin inten, tak mungkin kutinggalkan tanah ini
sebab aku tak ingin para meneer menghabisi rempah-rempah

aku berdiri kini, di depan jalan menuju rumahku. tiada yang
hendak senyum padaku. gigil dan terik kulalui.
“aku kini hanya patung, penghias kotamu. menjelang
sampai ke rumahmu, ibu...”



april-juni 2009
=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar