Laut yang hanya mimpi berjalan
menuju langit. Gorong-gorong yang ditinggalkan
pengemis sekarat menunggu hari. Aku
merintih. Seperti fantasi,
menciptakan anak-anak kunang
dari segala yang tak nampak semacam mata penyair.
Gerimis telanjang, sedang aku nisbi.
Paruh burung-burung meletuskan peluru
peluru getir.
Lalu, kebekuan memerdekakan jalan
jalan, tapi kota-kota hanya angin.
Gerhana bertahun-tahun putih, metahari melesat
dari kedalaman rasa sakit.
Kita begitu dekat, serupa jarak menjauh
dalam gerak daun-daun berhenti.
Aku terjebak waktu,
kau melenguh serupa pemuja
bangkai bulan biru. Betapa candi-candi
telah diruntuhkan, kesombonganku mengacungkan
celurit. Dendam
yang lolos dari puisi
menggerakkan akar-akar pasir.
Sebab demikianlah hidup, sedang udara
kian hitam bergasing. Melebihi iblis,
rasa bersalahku amis, menghancurkan bangkai-bangkai cacing.
Barangkali di jenazah rambutmu
seratus lindu telah kembali.
Kini aku raib, memulai segenap tidur dan sihir.
Kelak tak ada akhir dan bumi hanya dingin.
Bendera-bendera kabut
mengacungkan parang abad
abad surealis.
=INDRA TJAHYADI=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar