Senin, 13 Juli 2015

KAU ! kAU JANG BICARA ! karya : Ajip Rosidi

 

I

Apa artinja sadjak

Kalau setiap saat manusia dapat ditembak

Hanja lantaran bedil tersandang

Dan hatimu meradang?

 

Apa artinja puisi

Kalau pintu pendjara terbuka

Hanja lantaran merasa kuasa

Dan hatimu memendam bentji?

 

Kutulis sadjak ini

Karena penjair

Terhindar dari takdir djadi beo jang latah

Puisipun harus menembus

Hidup-aman-dalam-bungkaman

Ditindas kesewenang-wenangan

 

Penjairlah jang bitjara

Menjampaikan hasrat-kodrati manusia:

Kemerdekaan!

 

II

Kau. Kau bitjara tentang hak

dan orang lain kaukurniai hak-bajar-padjak

Kau bitjara tentang kewadjiban

tapi dirimu sendiri litjin bagai kantjil,

memilih kewadjiban-memberi-perintah, memetik-hasil.

 

Kau. Kau bitjara tentang kemakmuran

sedang petani-petani tak kaubiarkan makan nasi

tenang mengerdjakan sawah dan ladang

dan pedagang-pedagang tak kaubiarkan lunas dari utang

dan guru-guru kauharuskan turut memburu

beras dan gula, minjak tanah dan peda

dan pengarang kauperas hingga tulang

sumsumnjapun hendak kauhisap, agar diam.

 

Kau bitjara tentang kemerdekaan bitjara

sedang suara jang hendak kau dengar hanja ,,Setudju!”

kalau ada jang berbunji lain, alismu mengernjit

kaukutuk dia: ,,Penghianat bangsa!”

karena hanja kau pahlawan – tiada dua.

 

Ah, manusia ini hanja debu, kautahu?

dan antara debu dengan debu

tiada tuhan, tiada pahlawan

kalau satu dewa jang lainpun dewa pula.

 

III

Tidakkah pernah dalam tengah malam sunji

Selalu kau terlentang

Mendengarkan suara nurani

Berbitjara lantang?

 

Dari hidup manusia, dialah jang tak pernah dusta

Dari diri manusia, dialah jang paling murni

Sepuhan, pakaian, tiada guna, lantaran dia

paling mesra dengan hati.

 

Kau. Bitjaramu selalu tinggi

Mimpimu selalu hidjau

Atas segala kata, atas segala mimpi

Apakah telingamu tuli, ataukah

nuranimu bisu bagai batu tak bertatah?

 

Kau. Hatimu jang selalu pura-pura

Tidakkah kepada dirimu sendiri kau tak kuasa

Kendati hanja sepatah dusta?

Setelah membatja sadjak ini,

pedjamkan matamu, lalu hening

dalam malam jang tentram; merenung

menjelam ke dalam relung

rongga-rongga dasar djiwamu: Kenalkah kau

kepada mata kuju yang kausuruh makan batu?

Kenalkah kau kepada tubuh-tubuh begung

jang tak djemu kausuruh menanggung?

Kenalkah kau kepada dada gambang

jang dikerahkan dari satu ke lain rapat

untuk bertepuk tangan, menarik urat, memuaskan hatimu

jang tak djemu disandjung?

 

Hidup ini di atas bumi fana

segalanjapun fana. Sadjak ini

menolak kefanaan, dia menjadarkan

manusia jang riwan

mimpi djadi tuhan.

 

Bumi fana, menampung hidup fana.

 

IV

Kau. Kau jang selalu bitjara

sekali ini dengarkan, dengarkanlah

suara orang jang mungkin

dengan suaramu sendiri berlain.

 

Kau. Kau jang selalu bitjara

sekali ini dengarkan, dengarkanlah

suara jang adalah suara paling dalam

keluar dari hatimu sendiri

dalam malam hening sepi.

 

Karena sadjak ini bukan mimpi

remadja merindukan tjinta, tapi

mengadjak kau mendjenguk nurani

jang telah lama kaudjauhi – kauhindari.

 

Karena sadjak ini bukan lamunan

penjair tak tentu kerdja, melainkan

membangunkan kau jang gamang

terumbang ambing di pinggir djurang.

 

Karena sadjak ini ‘kan djadi bungkus roti

kalau petani mampu menjanji malam hari,

tenang mengerdjakan sawahnja lagi,

lepas dari intipan takut, gelisah, bimbang;

kalau pedagang senang menembang sepandjang hutan,

selagi mendjadjakan beras, gula, garam;

dan kalau segala mimpimu bukan lagi

hanja onggokan kata dan kertas, tertumpuk tinggi,

tapi telah mendjadi hidup manusia sehari-hari.



 

Djatiwangi, November 1961

=AJIP ROSIDI=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar