I
Apa artinja sadjak
Kalau setiap saat manusia dapat ditembak
Hanja lantaran bedil tersandang
Dan hatimu meradang?
Apa artinja puisi
Kalau pintu pendjara terbuka
Hanja lantaran merasa kuasa
Dan hatimu memendam bentji?
Kutulis sadjak ini
Karena penjair
Terhindar dari takdir djadi beo jang latah
Puisipun harus menembus
Hidup-aman-dalam-bungkaman
Ditindas kesewenang-wenangan
Penjairlah jang bitjara
Menjampaikan hasrat-kodrati manusia:
Kemerdekaan!
II
Kau. Kau bitjara tentang hak
dan orang lain kaukurniai hak-bajar-padjak
Kau bitjara tentang kewadjiban
tapi dirimu sendiri litjin bagai kantjil,
memilih kewadjiban-memberi-perintah, memetik-hasil.
Kau. Kau bitjara tentang kemakmuran
sedang petani-petani tak kaubiarkan makan nasi
tenang mengerdjakan sawah dan ladang
dan pedagang-pedagang tak kaubiarkan lunas dari utang
dan guru-guru kauharuskan turut memburu
beras dan gula, minjak tanah dan peda
dan pengarang kauperas hingga tulang
sumsumnjapun hendak kauhisap, agar diam.
Kau bitjara tentang kemerdekaan bitjara
sedang suara jang hendak kau dengar hanja ,,Setudju!”
kalau ada jang berbunji lain, alismu mengernjit
kaukutuk dia: ,,Penghianat bangsa!”
karena hanja kau pahlawan – tiada dua.
Ah, manusia ini hanja debu, kautahu?
dan antara debu dengan debu
tiada tuhan, tiada pahlawan
kalau satu dewa jang lainpun dewa pula.
III
Tidakkah pernah dalam tengah malam sunji
Selalu kau terlentang
Mendengarkan suara nurani
Berbitjara lantang?
Dari hidup manusia, dialah jang tak pernah dusta
Dari diri manusia, dialah jang paling murni
Sepuhan, pakaian, tiada guna, lantaran dia
paling mesra dengan hati.
Kau. Bitjaramu selalu tinggi
Mimpimu selalu hidjau
Atas segala kata, atas segala mimpi
Apakah telingamu tuli, ataukah
nuranimu bisu bagai batu tak bertatah?
Kau. Hatimu jang selalu pura-pura
Tidakkah kepada dirimu sendiri kau tak kuasa
Kendati hanja sepatah dusta?
Setelah membatja sadjak ini,
pedjamkan matamu, lalu hening
dalam malam jang tentram; merenung
menjelam ke dalam relung
rongga-rongga dasar djiwamu: Kenalkah kau
kepada mata kuju yang kausuruh makan batu?
Kenalkah kau kepada tubuh-tubuh begung
jang tak djemu kausuruh menanggung?
Kenalkah kau kepada dada gambang
jang dikerahkan dari satu ke lain rapat
untuk bertepuk tangan, menarik urat, memuaskan hatimu
jang tak djemu disandjung?
Hidup ini di atas bumi fana
segalanjapun fana. Sadjak ini
menolak kefanaan, dia menjadarkan
manusia jang riwan
mimpi djadi tuhan.
Bumi fana, menampung hidup fana.
IV
Kau. Kau jang selalu bitjara
sekali ini dengarkan, dengarkanlah
suara orang jang mungkin
dengan suaramu sendiri berlain.
Kau. Kau jang selalu bitjara
sekali ini dengarkan, dengarkanlah
suara jang adalah suara paling dalam
keluar dari hatimu sendiri
dalam malam hening sepi.
Karena sadjak ini bukan mimpi
remadja merindukan tjinta, tapi
mengadjak kau mendjenguk nurani
jang telah lama kaudjauhi – kauhindari.
Karena sadjak ini bukan lamunan
penjair tak tentu kerdja, melainkan
membangunkan kau jang gamang
terumbang ambing di pinggir djurang.
Karena sadjak ini ‘kan djadi bungkus roti
kalau petani mampu menjanji malam hari,
tenang mengerdjakan sawahnja lagi,
lepas dari intipan takut, gelisah, bimbang;
kalau pedagang senang menembang sepandjang hutan,
selagi mendjadjakan beras, gula, garam;
dan kalau segala mimpimu bukan lagi
hanja onggokan kata dan kertas, tertumpuk tinggi,
tapi telah mendjadi hidup manusia sehari-hari.
Djatiwangi, November 1961
=AJIP ROSIDI=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar