Tuhan, turunkanlah hujan untuk bayam, tomat
dan sawi kurus yang kami tanam
Aneh, hanya dingin bebatuan yang setia
menyegarkan batang-batangnya
Setiap malam dari balik terali besi kuhisap
udara kering dan embun tipis, berebutan
dengan bayam, tomat dan sawi kurus
Kenapakah hujan tak turun jua? Ada apakah
sebenarnya di balik cuaca?
Mungkinkah uap air telah dihisap pepohonan
besar, jalan-jalan besar, rumah-rumah besar
dan paru-paru orang besar di kota-kota
Dan kamu?
Aku tak tahu, aku tak tahu
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
mengusap lembut terali besi dan wajahku
Sebab si pencinta bayam, tomat dan sawi hanya
mampu bertanya ke arah langit
Bukankah langit telah menganugerahi orang-
orang bijak dan berkuasa, martabat untuk
menuangkan jutaan kata-kata di benak kita
yang lelah. Walaupun kulit perutmu lengket
tulang perutmu
Inilah hidup, inilah kepastian, kata mereka
Aku tak tahu, aku tak tahu. Bukankah Tuhan
membuat miskin dan membuat kaya, Ia
meninggikan dan merendahkan juga
Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,
mengusap lembut terali besi dan wajahku
Dari ujung sel kudengar lagu dangdut merintih-
rintih tentang penderitaan hidup, lalu
kudengar desah genit si penyiar wanita,
“Salam kompak selalu dan selamat
menempuh hidup baru buat X di jalan Y dari
gadis Z di gubuk derita”
Hai, hai siapakah yang berbahagia dan
siapakah yang menderita?
Lalu kedengar ramalan bintang
“Buat pendengar yang bernaung di bawah
bintang Caprocornus, rejeki dan kebahagiaan
minggu ini bersama anda dan asmara si dia
makin mesra saja, kesehatan anda pun makin
sempurna, hindari makanan berkalori tinggi”
Kemudian aku menatap sisa ikan asin yang
dikerubungi semut-semut hitam, lalu perlahan
meneguk air teh pahit di cangkir berkarat
Kuhisap udara kering sambil menyanyikan
Indonesia Raya; tetapi kenapa hatiku semakin
sepi dan asing saja (Inikah bangsaku, inikah
manusia yang berakal-budi?)
Cahaya bulan pucat menerangi bumi
sekarat, mengusap lembut terali besi dan
wajahku
Aku menekan wajah ke sisi terali besi dan berdoa
“Selamat malam, Tuhan, salam kompak selalu,
siapakah yang berbahagia dan siapakah yang
menderita?”
Kebon Waru, November 1989
=M. FADJROEL RACHMAN=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar