Udara yang kehilangan nyawa, melacak ziarah lelawa.
Bulan tiba-tiba pucat, menyergap seratus titik sunyi
yang ditenungkan hujan.
Aku ciumi tanda hitam di perutmu.
Urat-aurat nasibku yang sial menjelma embun.
Bersama cicit tikus, aku rumahkan ketiadaan.
Berakku di sudut sumur samun.
Jalan-jalan setapak keterasingan, yang biru menafasi mendung.
Tanpa rasa bersalah, ruhku merabuki rahim tahun.
Darah-darah musim bertetesan di sepanjang tengkorak lumpur.
Jantungku berhenti berdetak.
Umur berakhir dalam bisu.
Tapi seperti seorang pencuri, aku lempari susumu dengan pagut.
Kubuka selangkanganmu.
Lidahku menemukan rasa asin, semacam perasaan getir
antara lanskap pohon-pohon dan pilu.
Seluruh pelacur meludahi punggungku.
Para pemabuk menghardik malam,
memecah sebotol arak dan kelu.
Tapi, siulan burung-burung mesum,
membangun menara-menara requim dalam jiwaku.
Kau beringsut.
Penampakanku memudar.
Arwah arwah perompak bangkit dari dasar laut.
Barangkali sajak-sajakku memang hanya dipenuhi daun.
Aku panggil namamu, segenap kejahatan tak lagi bersalju!
Rasakanlah betapa aku menginginkanmu.
Begitu saja rambutmu memendek tanpa lindu.
Kembali kuhirup candu. Bersetia dengan maut.
2004.
=INDRA TJAHYADI=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar