Ada hutan lebat tak tertembus
Di sisinya ada sungai
Kecil dan berbatu
Jejak-jejak kaki tergambar di tanah
Orang-orang pergi ke lain arah
Sydney, 1985
=ARAHMAIANI=
Ada hutan lebat tak tertembus
Di sisinya ada sungai
Kecil dan berbatu
Jejak-jejak kaki tergambar di tanah
Orang-orang pergi ke lain arah
Sydney, 1985
=ARAHMAIANI=
Lirih. Lirih
Suara cinta di sebrang sana
Lirih gema do’a
Dendangkan kidung surga itu
Di sini. Di sini
Pada batas sadar
Aku mengembara
Dari satu cerita ke satu cerita
Mencari awal pangkal kefanaan
Kerajaan damai abadi
Terpijak kaki ini pada kerikil-kerikil padas
Daya adalah daya
Penguasa punya cerita
Bandung, 1983
=ARAHMAIANI=
Tadi malam
Mentari musim semi
Menyusup ke dalam mimpi
Menyinari kamarku
Gelap berdebu
Sinar merayapi
Kelokan-kelokan renungan
Di relung-relung kokoh sejarah
Catatan peristiwa-peristiwa
Impianku memasung tubuh
Di ruang tak bertepi
Ingatan masa lalu
Terbang
Melayang
Lintasi Pasifik – Atlantik
Pentatonik – diatonik
Pagoda – piramida
Tubuhku tergeletak
Tak berdaya
Didera rindu
Berlumut dan berdebu
Jerit kereta malam di Amsterdam
Ciptakan satu komposisi
Nada sepi
Merobek lamunan
Tirai penglihatan
Amsterdam, 1992
=ARAHMAIANI=
Di tempatku terpencil jauh terasing
Kudengar suaramu penyanyi radio
Engkau menghibur hati dan jiwa
Orang yang sakit badan merana
Di tempatku terpencil jauh terasing
Kubaca madahmu, wahai pengarang
Kau alirkan rasa, kau atur pikiran
Terkuak kegelapan, menyinar benderang.
Kulihat pula sekeliling orang berjasa
Dokter dan suster, mantri dan kacung
Bekerja bersama dalam susunan
Melawan penyakit menumpas derita.
Demikian adanya hidup di dunia
Saling membantu bahagia membahagiakan
Ya, Tuhan, kembalilah tenaga, kuatlah sayapku,
Aku ingin turut berbakti.
1945
=H.B. YASSIN=
– Catatan Akhir Tahun
Tak perlu kuucapkan “selamat tinggal” pada detik terakhir
bulan Desember, dan “selamat datang” untuk detik
awal Januari. Untuk apa? Segala waktu sama. Waktu
adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan.
Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin. Tapi,
di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk,
hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang
masih lengket—berkecamuk dalam kenangan:
Tanah meledak, kota-kota terbakar; AIDS, flu burung,
demam berdarah, busung lapar; BBM melonjak,
harga-harga menjerat leher, juga laut yang mendadak gila,
menghancurkan jadwal-jadwal—
menculik seluruh isi kota.
Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan, mengusung
detak-detaknya, diam-diam—
menyembunyikan wajahnya di balik
paras bulan merekah, atau matahari bersinar
Membungkus rahasianya dengan siang, dengan malam:
Waktu adalah siluman yang pandai menyamar.
“Selamat Tahun Baru,” katamu, menyeringai.
Selamat tahun baru? Untuk apa?
Seperti waktu, aku pun terus berjalan: gelisah oleh tatapan
mata bulan. Gemetar di bawah kerling
matahari. Sebab, gara-gara waktu,
banyak hal berdesak untuk diingat,
dan aku berjuang untuk lupa—sebagai jalan
pembebasanku.
Jakarta, 2006
=AHMAD NURULLAH=
Di dalam kata-katamu yang indah
kutemukan sarang ular: ia melingkar
mengerami telur-telurnya
di bawah sisik-sisiknya yang berkilau
bak permata
Bila di Taman Firdaus zaman Adam
ular gemar melingkar di batang pohon khuldi
Sekarang ular punya tempat sembunyi lebih nyaman:
kata-kata
Sebab, lebih licin dibanding pohon khuldi
kata bisa menjelma apa saja:
Hari ini seonggok sarung
Besok baju tentara
“Apa kabar, Kawan?” tanyanya, ceria
Aku tersenyum. “Baik,” jawabku
Diam-diam aku menyusup ke dalam kata-katanya:
Astaga! Ada jutaan ular melingkar di situ
Usai Waktu Penciptaan
Kata-kata telah bergeser dari peran dasarnya:
Ia bukan lagi Perawan Suci yang bertugas
menggendong Alam Semesta.
Jakarta, 2003
=AHMAD NURULLAH=
—Kepada Orang Lain
1
Sungguh adakah cinta, jika perang adalah fakta,
dan darah adalah sejarah?
Kadang aku berpikir:
Mungkin kita tercipta
dari keisengan. Kala bumi kuyup
Udara menggigil. Dan malam
sesaat jadi biru.
Di bawah hujan, kota-kota lelap
Dan, seperti di hari-hari kemarin,
sepasang api purba bertumbuk, meledak,
dan terbakar. Dan kau:
di luar keinginanmu, jatuh
pada seliang rahim yang basah
dengan kepala kuyup oleh api
dengan kening basah
oleh mimpi.
2
Di bangku dasar kaureguk pengetahuan pertama:
Perang meletus sejak di sebuah lembah
di rahim: Ketika bermiliar ekor serangga berenang
dan berburu mahkota
di kepala putik bunga
Ketika kau cuma seharga anak nyamuk
tersisip di tengah gelombang massa.
Dan kau saling menikam
Dan kita terlibat di dalamnya
Dan kitalah pemenang. Kitalah pembunuh
Dan hidup bermula dari pembunuhan.
3
Lalu ibumu mengerang
Dan kau: sang pemenang itu
melompat ke dalam waktu. Debu tumbuh,
dan berbunga. Tanah berbuah: sejarah –
Tentang Kain yang tangannya kuyup darah
Tentang Hitler yang mengamuk di Eropa
Tentang pesta peluru di Lebanon,
Afghanistan – Timur Tengah
Tentang perang etnik di Yugoslavia
Tentang pembantaian massal di Tiananmen
Tentang Semanggi, Ambon, Aceh, Irian Jaya,
Timor Leste. Tentang kita. Tentang kita.
4
Sungguh adakah cinta, jika perang
adalah fakta, dan darah
adalah sejarah?
Kau meludah: “Campakkan saja mimpimu
tentang cinta. Mari, perang yang lain
kita mulai. Seperti dulu. Ketika kita
berebut mahkota di kepala putik bunga
Sebelum kita sendiri mengerti
asamnya darah
pedasnya airmata.”
(Lalu kau terisak:
“Ibu, maafkanlah atas kelancanganku.”)
Jakarta, 1999
=AHMAD NURULLAH=
Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi kali,
selokan, parit-parit, yang mengalir
dalam tubuhmu. Kupelajari segala jenis kerikil,
batu-batu; biji-biji emas, dan ikan-ikannya
Tetapi, sungguh engkaukah itu
Sungguh kaukah yang berdiri tersenyum di dalam waktu?
Mungkin bukan. Mungkin kau cuma bayang-bayang
pikiranku. Kususun dari rasa-rasaku –
Kau hasil rajutan sebuah pikiran
Kau percik perasaan.
“Hallo! Kaukah itu. Sungguh kaukah yang berdiri
di depan pintu?” Kau yang baik, kau yang dungu?
Kau yang suci, yang berdebu? Mungkin bukan.
Kau angin yang berdesir, air yang bergerak,
kau batu yang berjalan
dalam diam: Kau tak bulat. Kau tak selesai.
Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi danau,
rawa-rawa, parit-parit, yang bergericik
dalam tubuhmu.
Tapi, kadang kau tak ada
Kau cuma jejak.
Jakarta, 2005
=AHMAD NURULLAH=
Ketika mereka bacok leherku,
dan parang menghunjam ke tubuhku
berulang kali,
kemudian mereka rampas kerbauku,
aku agak heran
bahwa tubuhku mengucurkan darah.
Sebetulnya sebelum mereka bunuh
sudah lama aku mati.
Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan
kekuasaan.
Hidup tanpa daya
sebab daya ditindih ketakutan.
Setiap hari seperti mati berulang kali.
Setiap saat berharap menjadi semut
agar bisa tidak kelihatan.
Sekarang setelah mati
baru aku menyadari
bahwa ketakutan membantu penindasan,
dan sikap tidak berdaya
menyuburkan ketidakadilan.
Aku sesali tatanan hidup
yang mengurung rakyat sehingga tak berdaya.
Meski tahu akan dihukum tanpa dosa,
meski merasa akan dibunuh semena-mena,
sampai saat badan meregang melepas nyawa,
aku tak pernah mengangkat tangan
untuk menangkis atau melawan.
Pikiran dan batin
tidak berani angkat suara
karena tidak punya kata-kata.
Baru sekarang setelah mati
aku sadar ingin bicara
memberikan kesaksian.
O, gunung dan lembah tanah Jawa!
Apakah kamu surga atau kuburan raya?
O, tanah Jawa,
bunda yang bunting senantiasa,
ternyata para putramu
tak mampu membelamu.
O, kali yang membawa kesuburan,
akhirnya samudera menampung air mata.
Panen yang berlimpah setiap tahun
bukanlah rezeki petani yang menanamnya.
O, para Adipati Tanah Jawa!
Tatanan hidup yang kalian tegakkan
ternyata menjadi tatanan kemandulan.
Tatanan yang tak mampu mencerdaskan
bangsa.
Akhirnya kita dijajah oleh Belanda.
Hidup tanpa pilihan
adalah hidup penuh sesalan.
Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tidak berdaya
membusukkan kehidupan.
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.
Kesaksianku ini
kesaksian orang mati
yang terlambat diucapkan.
Hendaknya ia menjadi batu nisan
bagi mayatku yang dianggap hilang
karena ditendang ke dalam jurang.
Depok, 17 Januari 1991
=W.S. RENDRA=
Tuba sepi merambat dikeheningan bayang
Merampas semua getar indah kebalik hampa
Tak kutemui lagi wanginya embun jatuh
Yang terselip diantara buih buih mimpi tertinggal
Seperti yang kerap kali dihembuskan angin
Ketika fajar mulai menyapa mesra raga ini
Telah luruh pijar jalanan ditingkap hening
Melukis wajah remang dibaluran kisah terberai
Bayang menjelma laksana bulan lelap
Terampas dinding sepi yang kian kelam dan dingin
Hanya jenuh yang tak henti merambati ruang garba
Mengarsir gumpalan hitam sebaris kebekuan rasa
=MERPATI=