Sabtu, 01 Agustus 2015

JEJAK KAKI karya : Arahmaiani

Ada hutan lebat tak tertembus

Di sisinya ada sungai

Kecil dan berbatu

 

Jejak-jejak kaki tergambar di tanah

Orang-orang pergi ke lain arah

 


Sydney, 1985 

=ARAHMAIANI=

KIDUNG KELENGANGAN karya : Arahmaiani

Lirih. Lirih

Suara cinta di sebrang sana

Lirih gema do’a

Dendangkan kidung surga itu

Di sini. Di sini

Pada batas sadar

Aku mengembara

Dari satu cerita ke satu cerita

Mencari awal pangkal kefanaan

Kerajaan damai abadi

Terpijak kaki ini pada kerikil-kerikil padas

Daya adalah daya

Penguasa punya cerita

 



Bandung, 1983 

=ARAHMAIANI=

KOMPOSISI karya : Arahmaiani

Tadi malam

Mentari musim semi

Menyusup ke dalam mimpi

Menyinari kamarku

Gelap berdebu

 

Sinar merayapi

Kelokan-kelokan renungan

Di relung-relung kokoh sejarah

Catatan peristiwa-peristiwa

 

Impianku memasung tubuh

Di ruang tak bertepi

Ingatan masa lalu

Terbang

Melayang

Lintasi Pasifik – Atlantik

Pentatonik – diatonik

Pagoda – piramida

 

Tubuhku tergeletak

Tak berdaya

Didera rindu

Berlumut dan berdebu

 

Jerit kereta malam di Amsterdam

Ciptakan satu komposisi

Nada sepi

Merobek lamunan

Tirai penglihatan

 



Amsterdam, 1992 

=ARAHMAIANI=

PERBARUAN TEKAD karya : H.B. Yassin

Di tempatku terpencil jauh terasing

Kudengar suaramu penyanyi radio

Engkau menghibur hati dan jiwa

Orang yang sakit badan merana

 

Di tempatku terpencil jauh terasing

Kubaca madahmu, wahai pengarang

Kau alirkan rasa, kau atur pikiran

Terkuak kegelapan, menyinar benderang.

 

Kulihat pula sekeliling orang berjasa

Dokter dan suster, mantri dan kacung

Bekerja bersama dalam susunan

Melawan penyakit menumpas derita.

 

Demikian adanya hidup di dunia

Saling membantu bahagia membahagiakan

Ya, Tuhan, kembalilah tenaga, kuatlah sayapku,

Aku ingin turut berbakti.

 



1945 

=H.B. YASSIN=

NOTA BULAN DESEMBER karya : Ahmad Nurullah

Catatan  Akhir Tahun

Tak perlu kuucapkan
selamat tinggal pada detik terakhir
bulan Desember, dan
selamat datang untuk detik
awal Januari. Untuk apa? Segala waktu sama. Waktu
adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan.

Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin. Tapi,
di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk,
hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang
masih lengket—berkecamuk dalam kenangan:

Tanah meledak, kota-kota terbakar; AIDS, flu burung,
demam berdarah, busung lapar; BBM melonjak,
harga-harga menjerat leher
, juga laut yang mendadak gila,
menghancurkan jadwal-jadwal—
menculik seluruh isi kota.

Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan, mengusung
detak-detaknya, diam-diam—

menyembunyikan wajahnya di balik
paras bulan merekah, atau matahari bersinar
Membungkus rahasianya dengan siang, dengan malam:
Waktu adalah siluman yang pandai menyamar.

“Selamat Tahun Baru,” katamu, menyeringai.
Selamat tahun baru? Untuk apa?

Seperti waktu, aku pun terus berjalan: gelisah oleh tatapan
mata bulan. Gemetar di bawah kerling
matahari. Sebab, gara-gara waktu,

banyak hal berdesak untuk diingat,

dan aku berjuang untuk lupa—sebagai jalan
pembebasanku.



Jakarta, 2006

=AHMAD NURULLAH=

MITOLOGI KATA karya : Ahmad Nurullah

Di dalam kata-katamu yang indah

kutemukan sarang ular: ia melingkar

mengerami telur-telurnya

di bawah sisik-sisiknya yang berkilau

bak permata

 

Bila di Taman Firdaus zaman Adam

ular gemar melingkar di batang pohon khuldi

Sekarang ular punya tempat sembunyi lebih nyaman:

kata-kata

 

Sebab, lebih licin dibanding pohon khuldi

kata bisa menjelma apa saja:

Hari ini seonggok sarung

Besok baju tentara

 

“Apa kabar, Kawan?” tanyanya, ceria

Aku tersenyum. “Baik,” jawabku

Diam-diam aku menyusup ke dalam kata-katanya:

Astaga! Ada jutaan ular melingkar di situ

 

Usai Waktu Penciptaan

Kata-kata telah bergeser dari peran dasarnya:

Ia bukan lagi Perawan Suci yang bertugas

menggendong Alam Semesta.



 

Jakarta, 2003

=AHMAD NURULLAH=

MENIMANG SEJARAH, MENANGISI AIRMATA karya : Ahmad Nurullah

—Kepada Orang Lain

1
Sungguh adakah cinta, jika perang adalah fakta,

dan darah adalah sejarah?

 

Kadang aku berpikir:
Mungkin kita tercipta
dari keisengan. Kala bumi kuyup
Udara menggigil. Dan malam
sesaat jadi biru.

Di bawah hujan, kota-kota lelap
Dan, seperti di hari-hari kemarin,
sepasang api purba bertumbuk, meledak,

dan terbakar. Dan kau:

di luar keinginanmu, jatuh
pada seliang rahim yang basah
dengan kepala kuyup oleh api
dengan kening basah
oleh mimpi.

2
Di bangku dasar kaureguk pengetahuan pertama:
Perang meletus sejak di sebuah lembah
di rahim: Ketika bermiliar ekor serangga berenang
dan berburu mahkota
di kepala putik bunga
Ketika kau cuma seharga anak nyamuk
tersisip di tengah gelombang massa.
Dan kau saling menikam
Dan kita terlibat di dalamnya
Dan kitalah pemenang. Kitalah pembunuh
Dan hidup bermula dari pembunuhan.

3
Lalu ibumu mengerang
Dan kau: sang pemenang itu
melompat ke dalam waktu. Debu tumbuh,
dan berbunga. Tanah berbuah: sejarah


Tentang Kain yang tangannya kuyup darah
Tentang Hitler yang mengamuk di Eropa
Tentang pesta peluru di Lebanon,

Afghanistan – Timur Tengah
Tentang perang etnik di Yugoslavia
Tentang pembantaian massal di Tiananmen
Tentang Semanggi, Ambon, Aceh, Irian Jaya,

Timor Leste. Tentang kita. Tentang kita.

4
Sungguh adakah cinta, jika perang

adalah fakta, dan darah

adalah sejarah?

Kau meludah: “Campakkan saja mimpimu
tentang cinta. Mari, perang yang lain
kita mulai. Seperti dulu. Ketika kita
berebut mahkota di kepala putik bunga
Sebelum kita sendiri mengerti
asamnya darah
pedasnya airmata.”

(Lalu kau terisak:
“Ibu, maafkanlah atas kelancanganku.”)



Jakarta, 1999

=AHMAD NURULLAH=

HOMO TEXTUALIS karya : Ahmad Nurullah

Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi kali,
selokan, parit-parit, yang mengalir
dalam tubuhmu. Kupelajari segala jenis kerikil,
batu-batu; biji-biji emas, dan ikan-ikannya


Tetapi, sungguh engkaukah itu
Sungguh kaukah yang berdiri tersenyum di dalam waktu?


Mungkin bukan. Mungkin kau cuma bayang-bayang
pikiranku. Kususun dari rasa-rasaku

Kau hasil rajutan sebuah pikiran
Kau percik perasaan.


“Hallo! Kaukah itu. Sungguh kaukah yang berdiri
di depan pintu?” Kau yang baik, kau yang dungu?
Kau yang suci, yang berdebu? Mungkin bukan.


Kau angin yang berdesir, air yang bergerak,
kau batu yang berjalan
dalam diam: Kau tak bulat
. Kau tak selesai.


Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi danau,
rawa-rawa, parit-parit, yang bergericik
dalam tubuhmu.


Tapi, kadang kau tak ada
Kau cuma jejak.



Jakarta, 2005

=AHMAD NURULLAH=

KESAKSIAN BAPAK SAIJAH karya : W.S Rendra

Ketika mereka bacok leherku,

dan parang menghunjam ke tubuhku

berulang kali,

kemudian mereka rampas kerbauku,

aku agak heran

bahwa tubuhku mengucurkan darah.

Sebetulnya sebelum mereka bunuh

sudah lama aku mati.

 

Hidup tanpa pilihan

menjadi rakyat Sang Adipati

bagaikan hidup tanpa kesadaran,

sebab kesadaran dianggap tantangan

                                        kekuasaan.

Hidup tanpa daya

sebab daya ditindih ketakutan.

Setiap hari seperti mati berulang kali.

Setiap saat berharap menjadi semut

agar bisa tidak kelihatan.

 

Sekarang setelah mati

baru aku menyadari

bahwa ketakutan membantu penindasan,

dan sikap tidak berdaya

menyuburkan ketidakadilan.

 

 

Aku sesali tatanan hidup

yang mengurung rakyat sehingga tak berdaya.

Meski tahu akan dihukum tanpa dosa,

meski merasa akan dibunuh semena-mena,

sampai saat badan meregang melepas nyawa,

aku tak pernah mengangkat tangan

untuk menangkis atau melawan.

Pikiran dan batin

tidak berani angkat suara

karena tidak punya kata-kata.

 

Baru sekarang setelah mati

aku sadar ingin bicara                                      

memberikan kesaksian.

 

O, gunung dan lembah tanah Jawa!

Apakah kamu surga atau kuburan raya?

O, tanah Jawa,

bunda yang bunting senantiasa,

ternyata para putramu

tak mampu membelamu.

 

O, kali yang membawa kesuburan,

akhirnya samudera menampung air mata.

Panen yang berlimpah setiap tahun

bukanlah rezeki petani yang menanamnya.

 

O, para Adipati Tanah Jawa!

Tatanan hidup yang kalian tegakkan

ternyata menjadi tatanan kemandulan.

Tatanan yang tak mampu mencerdaskan

                                      bangsa.

Akhirnya kita dijajah oleh Belanda.

Hidup tanpa pilihan

adalah hidup penuh sesalan.

Rasa putus asa

menjadi bara dendam.

Dendam yang tidak berdaya

membusukkan kehidupan.

Apa yang seharusnya diucapkan

tidak menemukan kata-kata.

Apa yang seharusnya dilakukan

tidak mendapat dorongannya.

 

Kesaksianku ini

kesaksian orang mati

yang terlambat diucapkan.

Hendaknya ia menjadi batu nisan

bagi mayatku yang dianggap hilang

karena ditendang ke dalam jurang.



 

Depok, 17 Januari 1991

=W.S. RENDRA=

TUBA SEPI karya : Merpati



Tuba sepi merambat dikeheningan bayang

Merampas semua getar indah kebalik hampa

Tak kutemui lagi wanginya embun jatuh

Yang terselip diantara buih buih mimpi tertinggal

Seperti yang kerap kali dihembuskan angin

Ketika fajar mulai menyapa mesra raga ini

 

Telah luruh pijar jalanan ditingkap hening

Melukis wajah remang dibaluran kisah terberai

Bayang menjelma laksana bulan lelap

Terampas dinding sepi yang kian kelam dan dingin

Hanya jenuh yang tak henti merambati ruang garba

Mengarsir gumpalan hitam sebaris kebekuan rasa

 

 

=MERPATI=