Ia poles bibirku
dengan warna pesisir nan jauh.
Paham jika ia ingin selalu dirindu
akupun merestui itu.
Entah puisi ke berapa ini.
Aku mengaum saat awan menghalangi pandang.
Hujan tak termuat tanah.
2003
=BADDRUDIN EMCE=
Ia poles bibirku
dengan warna pesisir nan jauh.
Paham jika ia ingin selalu dirindu
akupun merestui itu.
Entah puisi ke berapa ini.
Aku mengaum saat awan menghalangi pandang.
Hujan tak termuat tanah.
2003
=BADDRUDIN EMCE=
Putih sayap lembut doa
ditatah para pertapa
Naluri tuk abadi
seperti sosok telanjang
hendak menyeberang
Satu pertanyaan
memabukkan –
Di mana siang
mencumbu malam?
Kan kucuri rayuan paling menyesatkan
2004
=BADRUDDIN EMCE=
Dari lubang-lubang ketiadaan berlarian kepiting.
Dengan gaya yang dibuat-buat digodanya
setiap yang mikir, setiap yang gampang diguncang sedih.
Mengapa kami berdiri di sini, begini? Adakah
memajang kami
di depan lubang-lubang seperti ini,
menghalau apa saja yang hendak menjadikannya rumah?
Alangkah bahagia binatang-binatang pantai ini.
Sepasang menara pengawas selalu memaksakan diri
untuk melek.
Meluangkan waktu sekedar mengiyakan ketiadaan.
Kasarnya: kebohongan!
2003
=BADRUDDIN EMCE=
secangkir kopi, menonton tv, menggoreng omelet
mendengar engkau bersiul. gitar menari,
sudah cukup bagiku pagi ini. perancis dingin
dalam wallpaper. seseorang mengayuh
sepeda sebegitu semangat menghadapi matahari
musim-musim menjatuhkan daun-daun jeruk
jemari pemetik gitar berpadu dengan wanita
bertopi gatsby. tepuk tangan menghampiri
ah, sekarang aku tahu, setiap iklan sabun itu diputar,
ada suaramu sebagai latar, detik bersebentar
bernyanyilah seperti konser kaum gitana
yang menghibur jalanan batu-batu, lesu-lesu
menjadi gembira, le plus beau du quartier
kilau embun di esok yang buta. angin menerjang
membawa aroma daun-daun, basahan syahdu
selalu, kamu benarkan korpus suasana itu
=BAGUS BURHAM=
di waktu-waktu yang ini
orang-orang belum kembali
jutaan gerimis berpindah
dari langit-langit lepas pagi
ke berahi lumpur
bunyi-bunyian pinta tolong
memekakkan telingaku
udara pucuk lumut tembok
mendapati kamu di sebuah mimpi lemas
sedang menengadah ke langit keropos
bertanya dalam bahasa yang tak bisa kutiru
bahkan masuk ke dalam. jauh lebih dalam
ratusan pandom meniru putaran matari
di horison jendela sore
pintu yang menganga
sepasang sepatu telanjur keluar luar
mengejar sepasang kupu-kupu
di sepasang pohon, saling berbagi udara
yang diserbuk dari kejauhan
di waktu-waktu yang ini
orang-orang tak pernah kembali
dialog angin dengan lembar-lembar daun
menyingkap musim berganti
=BAGUS BURHAM=
menemui semak yang remang, bertombak cahaya
di relung-relung tak berterang, palung paling gulita
jika bintang tak ada malam ini, kembalilah kunang-kunang,
malam ini, gerimis membawa semacam tanda:
pura-pura rumput menari dalam kesedihan kemarau
rimis gerimis, serupa undangan kereta dari rel-rel
yang membawa segudang musik dan sedepa partitur
meracik hujan dalam-dalam. arus menggelombang
memperbincangkan wajah gemawan yang murung
cahaya-cahaya menyilang warna dalam riak
berkubang, berhentilah dan berkumpul di sebuah lubang
sementara orang-orang menunggumu pulang,
disekap waktu yang terlalu. menghentikan ini malam
=BAGUS BURHAM=
hamba dari segala kesesalan: aku. inilah yang kumaksudkan:
bilamana petang bersembunyi di lidah malam, burung-burung
kembali memutari senjakala, kita sudah mesti bingkas
dan meninggalkan masing-masing dari diri, menuju ke luas
ke tapal batas. angkasa yang pura-pura tak melihat kita
merangkak dengan gegas mendaki udara memenuhkan diri
sebelum memecah jutaan butir kerinduan pada angin
pada bentuk yang tak berbentuk. Aku aminkan hidup
dari pembakaran cinta akyu dengan sulut panas api
kesederhanaan mengulangkan arti cinta yang sejati
bertemu dengan debu dan memadukan diri dalam-dalam
kita sudah sangat tenang-tentram tak ada lagi kemasygulan
panjatkan doa hablur ini. pada musim yang selalu bergerak
dan kebisuan berteriak mengetahui panjang usia hanya menit
setelah urusan-urusan yang tak terbataskan waktu singkat
hanyalah terus memanjat memenuhi udara dan tersapu lembut
jika kematian datang tanpa perlu menyiksa, aku bersyukur
malaikat-malaikat penuh seperti pasir. hisap aku dengan cepat
dan layarkan ke dunia bawah menumpang charon.
tempat, yang barangkali aku bisa teduh mengikuti
cahaya kunang-kunang
=BAGUS BURHAM=
jika engkau memanggul kematian, sebelum tutup mata,
bawalah rahasiaku: kata-kata dengan borok membusa
kalau-kalau, alamatmu ke dunia bawah, menemu anjing api
dan menyayatkan urat nadi untuk engkau tinggalkan
mewarnai sungai dan tumbuh-tumbuhan
kuangkat batu-batu, beku-beku yang cadas dan berat
di lereng-lereng gunung menuju puncak terjal
bergelinding untuk kembali terangkat jari-jari beban
pulanglah sebelum petang menyalami wajah sebelah dunia
sesudah burung-burung terlalu lelah untuk terbang dan kembali
hiburlah aku, layaknya seorang perempuan memberi tuak cinta
berlama-lama menjadi tembikar yang retak, berkesudahan
=BAGUS BURHAM=
terang bulan langit masjid
melepas angin magribi
anak-anak bersepeda
mengumpulkan kenangan
orang dewasa duduk-duduk
di beranda
jalan raya hening isya hampir tiba
sekarang ia datang, kembali
menjemput mereka yang ingin
mencicipi kebahagian sebagai
satu-satunya tiruan bulan di panci
yang matang, bersukacitalah
mata bocah, jernih. cahaya
nampak di setiap mimpi mereka
berkejaran melupa dunia
di langit-langit penuh lirih adzan
anak-anak bersarung, berjilbab
sebelum shalat
merasakan bahagia meluncur
ke lidah mereka
dan ia datang, dengan sepeda onta
dikayuh, selepas kumandang isya
kepada kanak yang telah tumbuh, akan tumbuh
menjadi dewasa, menjelma orang tua mereka
=BAGUS BURHAM=