Selasa, 01 Desember 2015

RINDU YANG MENIKAM karya : Merpati

Malam yang berdiang tanpa bayang
Menelan rasa ke buritan hening
Gigil menyekap nadi, memeluk biru wajah kenangan
Serangkai puisiku terkapar diujung jemari
Berkutat pada pusaran rindu tak berarah

Duka meraba diri
Meretas nyanyian senja kebalik nada gelisah
Kata tak henti menyusuri langsai kehidupan
Mengeja luka demi luka yang ditorehkan cinta
Mencipta kaligrafi hitam sebaris elegi jiwa

Di pipi waktu yang kian beku
Rindu akhirnya menggelepar di altar sepi
Memberikan kecupan ragu disekujur benak
Sebelum kembali menikamkan perihnya di ujung jantung




=MERPATI=

Sabtu, 28 November 2015

DOA MANIS BUAT TUHAN karya : M. Fadjroel Rachman

Tuhan, turunkanlah hujan untuk bayam, tomat

dan sawi kurus yang kami tanam

Aneh, hanya dingin bebatuan yang setia

menyegarkan batang-batangnya

Setiap malam dari balik terali besi kuhisap

udara kering dan embun tipis, berebutan

dengan bayam, tomat dan sawi kurus

Kenapakah hujan tak turun jua? Ada apakah

sebenarnya di balik cuaca?

Mungkinkah uap air telah dihisap pepohonan

besar, jalan-jalan besar, rumah-rumah besar

dan paru-paru orang besar di kota-kota

Dan kamu?

 

Aku tak tahu, aku tak tahu

Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,

            mengusap lembut terali besi dan wajahku

Sebab si pencinta bayam, tomat dan sawi hanya

            mampu bertanya ke arah langit

Bukankah langit telah menganugerahi orang-

            orang bijak dan berkuasa, martabat untuk

            menuangkan jutaan kata-kata di benak kita

            yang lelah. Walaupun kulit perutmu lengket

            tulang perutmu

Inilah hidup, inilah kepastian, kata mereka

 

Aku tak tahu, aku tak tahu. Bukankah Tuhan

            membuat miskin dan membuat kaya, Ia

            meninggikan dan merendahkan juga

Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,

            mengusap lembut terali besi dan wajahku

Dari ujung sel kudengar lagu dangdut merintih-

            rintih tentang penderitaan hidup, lalu

            kudengar desah genit si penyiar wanita,

            “Salam kompak selalu dan selamat

            menempuh hidup baru buat X di jalan Y dari

            gadis Z di gubuk derita”

Hai, hai siapakah yang berbahagia dan

            siapakah yang menderita?

 

 

Lalu kedengar ramalan bintang

“Buat pendengar yang bernaung di bawah

            bintang Caprocornus, rejeki dan kebahagiaan

            minggu ini bersama anda dan asmara si dia

            makin mesra saja, kesehatan anda pun makin

            sempurna, hindari makanan berkalori tinggi”

Kemudian aku menatap sisa ikan asin yang

            dikerubungi semut-semut hitam, lalu perlahan

            meneguk air teh pahit di cangkir berkarat

Kuhisap udara kering sambil menyanyikan

            Indonesia Raya; tetapi kenapa hatiku semakin

            sepi dan asing saja (Inikah bangsaku, inikah

            manusia yang berakal-budi?)

Cahaya bulan pucat menerangi bumi

            sekarat, mengusap lembut terali besi dan

            wajahku

Aku menekan wajah ke sisi terali besi dan berdoa

“Selamat malam, Tuhan, salam kompak selalu,

            siapakah yang berbahagia dan siapakah yang

            menderita?”

 



Kebon Waru, November 1989

=M. FADJROEL RACHMAN=

MALAM LEBARAN karya : M. Fadjroel Rachman

Sendirian

Di dunia mayat-mayat 

Aku hidup!

Di kehampaan-segala

Tersalib




Sukamiskin, 15 April 1991

=M. FADJROEL RACHMAN=

MAWAR TERJAUH karya : Nirwan Dewanto

Kau benih hujan pagi hari,

aku payung yang lama iri.

Kau airmata di ujung jari,

aku saputangan matahari.

 

Jika kau dalam gaun merah,

aku bekas tangan di perutmu.

Tapi kau juga genangan darah,

ketika aku urung mencintaimu.

 

Kau cermin terlalu menunggu,

aku wajah yang memurnikanmu.

Tumpahkanlah tilas semua dara,

sampai jantungmu serimbun bara.

 

Kau pemilik hujan sepenuh hari,

aku payung terlampau sembunyi.

Mari, lekaslah kelabui Januari,

sebab aku terkulai ke tepi nyanyi.



 

(2007)

=NIRWAN DEWANTO=

FAJAR DI GALENA karya : Nirwan Dewanto

Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri

setelah betaparenta ia berupaya menerangi sebatang jarum dalam mimpimu.

Berapa lama sudah kau terbangun?

Seraya mencari sisa putih mori ke arah rumpun kana,

kau berkata kepada sebutir batu gamping di jalan setapak itu,

 “Mereka mencintaimu, sebab kau tak menderita insomnia.”

Dengarlah, namaku matahari,

Akuperawat kuburan di tepi Mississippi,

maka aku tak akan terkelabui oleh kata-katamu.

 




=NIRWAN DEWANTO=

PENARI karya : Karsono H. Saputra

aku ingin mengajakmu menari di atas pentas

tak usah pakai bedak, tak usah pakai gincu

bahkan busana pun apa adanya

keindahan tari kita bukan semata karena bedak dan

gincu, apalagi tata pentas, tetapi bagaimana kita

mengikuti irama, mengisi panggung, dan melakukan

gerak secara benar berdasar aturan.

 

sesekali kita harus melompat tinggi-tinggi, kadang-

kadang bergerak mendatar, atau bergulingan. sesekali

kita harus berpencar karena tuntutan pola lantai, bahkan

sesekali harus menyapa penari lain. yang pasti pentas

ini milik kita, berdua, karena kita pemeran utama.

 

dan, kau penari luar biasa, bukan semata setia mengikuti

tata tari, namun imajinasi dan improvisasimu mengisi

ruang-ruang kosong dan memperkaya matra. maka, aku

tak mau penari pengganti.




=KARSONO H. SAPUTRA=

ZIARAH JEJAK karya : Indra Tjahyadi

Kita bermimpi, tapi ketakutan selalu mengusai
angan yang berjalan di atas keremangan baying,
hingga aral adalah kewajiban.
Dan akan selalu dating
Berulang, berulang mulai terbit fajar
hingga hilangnya ajal.
Tapi, ziarah jejak dari katalog jaga
Nyanyian duka kan selalu berubah
Selalu berubah, seandainya..




=INDRA TJAHYADI=

EKSPEDISI WAKTU karya : Indra Tjahyadi

Waktu berjalan menuju hulu, alangkah lambat
perjalanan angan yang bersinar
pada ruas redup.
Seperti awan yang mengapung terlentang
di mana malam hanya tahu; hening.




=INDRA TJAHYADI=

PERCAKAPAN SUNYI karya : Indra Tjahyadi

Kita adalah tangan-tangan yang tumbuh di dasar kesunyian.
Keperihan demi keperihan senantiasa melumuti wajah kita
Hingga setiap kali kita terjaga dari kudeta
yang mengerikan kita akan senantiasa paham
Bagaimana harus memaknainya dengan kabut dan luka
Meski anak-anak kita yang terlahir kelak
Akan senantiasa menunjuk ke arah matahari
Seumpama perahu-perahu karam
Yang merajahkan sosok taufan pada sunyi
Karena di jurang-jurang terasing, maut
Adalah hasrat yang paling nyata atas perih
Sementara mimpi-mimpi kita kian terpenggal
Antara sekarat dan pelangi


JIWA BULAN karya : Indra Tjahyadi

Jiwa bulanku murung—menembakkan revolvernya.

Burung-burung marabu menjemput sakraktul,

membangun jalan dari kengerian dan bisu.

Kau tahu, hujan telah percuma bagi hatiku.
Di akhir lindu, laut meluap—tapi arwahku tipis,
masih saja membayangkan lesung pipimu!

Persis di belah kecil payudaramu, bumi kemabukanku remuk.
Kejahatanku yang teguh meluaskan retakan, memacu pekik,
menghamburkan reruntuh
Peronda-peronda malam dengan paloma di tangan menginsyafi arah mendung.

Di dasar badai, mayatku berenangan-melukiskan lanskap 100 bau anyir dan bisu.

Di mana-mana hanya ada tangis,
sementara jenazahku memuja-muja siksa segenap kubur,
"Sayang, iklim terlampau lembab bagi cintaku."
Gedung-gedung yang menjulang menjadi bagian
dari seluruh pendiaman dan kutuk!

Kau tersenyum.
Sebagai deja vu, kematianku diburu derita, bersilolong,
100 tahun menjelma himne bagi kekalahan dan pilu.