Sabtu, 01 Agustus 2015

AWAN karya : Sanusi Pane

Awan datang melayang perlahan,

Serasa bermimpi, serasa berangan,

Bertambah lama, lupa di diri,

Bertambah halus, akhirnya seri,

Dan bentuk menjadi hilang

Dalam langit biru-gemilang.

Demikian jiwaku lenyap sekarang  

Dalam kehidupan teduh tenang 



=SANUSI PANE=

ZIARAH karya : Sapardi Djoko Damono

Kita berjingkat lewat

jalan kecil ini

dengan kaki telanjang; kita berziarah

ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita.

Jangan sampai terjaga mereka!

Kita tak membawa apa-apa. Kita

tak membawa kemenyan atau pun bunga

kecuali seberkas rencana-rencan kecil

(yang senantiasa tertunda-tunda) untuk

kita sombongkan kepada mereka.

Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis,

atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad mereka

di sana? Tidak, mereka hanya kenangan.

Hanya batang-batang cemara yang menusuk langit

yang akar-akarnya pada bumi keras.

Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka;

ibu-bapak kita yang mendongeng

tentang tokoh-tokoh itu, nenek-moyang kita itu,

tanpa menyebut-nyebut nama.

Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita,

kenangan yang membuat kita merasa

pernah ada.

Kita berziarah; berjingkatlah sesampai

di ujung jalan kecil ini:

sebuah lapangan terbuka

batang-batang cemara

angin.

Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga;

mereka telah tidur sejak abad pertama,

semenjak Hari Pertama itu.

Tak ada tulang-belulang tak ada sisa-sisa

jasad mereka.

Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebak

kita dalam dongengan nina-bobok.

Di tangan kita berkas-berkas rencana,

di atas kepala

sang Surya.

 



1967 

=SAPARDI DJOKO DAMONO=

BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH karya : Sapardi Djoko Damono

berjalan di belakang jenazah angin pun reda

jam mengerdip

tak terduga betapa lekas

siang menepi, melapangkan jalan dunia

 

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala

di atas: matahari kita, matahari itu juga

jam mengambang di antaranya

tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

 



1967 

=SAPARDI DJOKO DAMONO=

HUJAN, JALAK DAN DAUN JAMBU karya : Saparsi Djoko Damono

Hujan turun semalaman. Paginya

jalak berkicau dan daun jambu bersemi;

mereka tidak mengenal gurindam

dan peribahasa, tapi menghayati

adat kita yang purba,

tahu kapan harus berbuat sesuatu

agar kita, manusia, merasa bahagia. Mereka

tidak pernah bisa menguraikan

hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu

kapan harus berbuat sesuatu, agar kita

merasa tidak sepenuhnya sia-sia.

 



1992

=SAPARDI DJOKO DAMONO= 

LAUT TAWARKU karya : L. K. Ara

di lereng-lereng gunung menujumu

di atas bus yang menderu

detak hati kian keras

kuatir nasibmu

sore itu

 

parasmu diusap senja

alangkah tenang

salam sederhana kau ulurkan padaku

tanpa iringan gelombang

ataupun pikatan kecipak riak

pertanda bulan akan mengambang

 

dalam sunyi malam

sebelum fajar

perahu nelayan lesu

pulang ke pangkalan

setelah semalaman direndam dingin

kulihat baju-baju lusuh

dan mata diberati kantuk

 

jalan yang meliku ke pangkuanmu

wangi oleh kenangan lama

kian terasa

sentuhan riang riak-riakmu

pada mukaku yang meminati

 

jalan menurun ke jantungmu

lembut oleh siraman embun

yang menetes teduh

tanpa suara

menjamah langkahku

satu satu

kala kuturun ke tepian

dengan debaran mesra di hati

 



=L. K. ARA=

LAWEE BULAN karya : L. K. Ara

hati gelisah reda oleh kecipakmu

airmu jernih rela menerima

tubuh berlumpur hitam keringatan

 

dada sepi hangat oleh nyanyianmu

lenggangmu lapang

tubuhmu putih ramping

melenggokkan angan ke labuhan mimpi

 

pagi sebelum fajar

mencium wajahmu sejuk

gadis-gadis merebahkan pipi

menyentuhkan tubuhnya di arusmu

bertanya

berapa banyak pemuda di muara

yang rubuh mempertahankan negeri

 

sungai bulan kala senja

sebelum tudung malam terkembang

menampung keringat dan daki

menyambut jari-jari dan dada terbuka

menyirami kaki kanak-kanak

dan membasuh mata para janda

 

sepanjang malam sungai bulan

memerciki batang padi

mengedipi bintang-bintang

angin bersiul

lawee bulan lawee bulan 




=L. K. ARA=

KUTACANE karya : L. K. Ara

sebuah kota berpagar gunung

matahari terik langit biru

tanah subur bersyukur

memercikkan tanaman

berkat keringat tumpah

dari gagang cangkul

lelaki kuat

atau dari sabit langsing

di lengan halus

gegadis jingga

 

sebuah kota digelitiki sungai

bersemu malu gadis jelita

bulan muda di kaki langit

membungakan senyum

melihat nelayan mengembangkan jala

dari perahu

atau tangan-tangan teracung

menahan pancing di atas air

 

sebuah kota mekar oleh dongengan

mimpi-mimpi disuburi cerita nenek moyang

setiap pintu rumah tahu

kisah beru dihe dan sipihir

kasih tak sampai

atau silayar tunggal dan beru jinem

kasih satria di ujung pedang

atau beru pagan

putri jelita tanpa bandingan

 

sebuah kota

tanpa patung-patung megah

hanya menyimpan kuntum luka

amis darah di rumpun bambu

benteng tua tinggal kenangan

 



=L. K. ARA=

DAUN NANGKA DAN PINTU PINTU TERBUKA karya : Arahmaiani

Sehelai daun nangka jatuh ke kepala

Apakah kegilaan ini nyata?

 

Pintu-pintu terbelah

Jendela kaca pecah

Kurobek dada

Kuperlihatkan isinya

 

Inilah aku darah yang berasal dari tanah

Roh yang rindu

Tersesat di lautan galau

Tak berurut tak ada petunjuk

 

Pintu-pintu rumah terbuka semua

Segala angin jahat, syahwat

Menyerbu, menyeru, bersatu

Menjadi sebongkah batu

 

Inilah aku: setitik nurani

Dalam kacau porak poranda

Gelap napsu getir kuatir

Harus mengabdi kepada waktu

 

Tuanku, bisakah nasib ini kuperangkap

Dan kujebloskan ke dalam kebohongan pengkhianatan?

Atau kupercayakan pada ombak

Yang menerpa pantai karang?

 

(Wajahnya tak kelihatan

Namun degupnya selalu terasakan)

 

Bagaimana mungkin aku bisa melarikan diri

Menjelmakan hakikat kesesatan bersekutu dengan setan

Dan membawa panji-panji pernyataan:

Bahwa di alam ini tidak ada Tuhan

 

Aku teringat cerita panjang

Tentang awal kehidupan

Aku bertanya:

Apakah makna penciptaan?

 

Adalah gairahku, minat yang terbangkitkan

Ketika menyaksikan kilap sebilah pedang teramat tajam

Merah seciprat darah di lantai marmer mewah

Dan hewan-hewan melakukan persetubuhan

 

Hasratku bergejolak, mengombak, beriak, berteriak:

Oi, lahirkan kenikmatan-kenikmatan

Sebagai anak-anak dari persekutuan

Antara malaikat dan setan!

 

Telah diciptakan dua kekuatan

Dua saling berlawanan, saling melengkapi

Untuk membangkitkan keinsyafan

Menyadarkan kemanusiaan

 

Setiap kali kubuka mata

Selalu kulihat tanah di bawah sini, langit di atas sana

Setiap kali aku tertawa

Selalu diikuti tetes airmata

 

Kesetiaan mengharukan

Tunjukkan aku pada kenyataan

Kokohkan aku pada janji

Dan robohkan aku apabila mengingkari

 

Telah diciptakan matahari & bulan, daratan & lautan

Laki-laki & perempuan, kawan & lawan, ketertiban & kekacauan

Jadi satu dan sebadan

Dalam segala tindak dan kejadian

 

Tuanku,

Dapatkah angin dirobah arah tiaupannya?

Dapatkah hati disembunyikan dalam almari?

Dan lalu dikunci?

 

Di ambang setiap pintu terbuka

Iblis-iblis berdiri menjulurkan lidahnya

Matanya menelanjangiku

Cakarnya mengoyak keyakinanku

 

Siapakah sebenarnya kamu?

Siapakah sebenarnya aku?

 

Sungai membelah hutan

Cinta menunjukkan jalan

Sekalipun aral akan tetap datang

Cemas menghadang dan iman guncang

 

Dari buah asalnya biji

Dari mentari datangnya api

Bagaimana berhadapan dengan siluman

Adalah rahasia kedaulatan diri

 

Bagaimana memutuskan kebergantungan

Adalah makna kemerdekaan

 

II

 

Halilintar menyambar-nyambar

Kilat berkelebat

Aku tergetar

Tubuh terkapar

 

Bangkit! Bangkit!

Bangkitlah kesadaran

Bangkitkan diri dari kelemahan

Bangkitkan diri dari impotensi

 

Bangkit engkau penghuni surga

Bangkit engkau penghuni neraka

Bangkit dan uji kebenaran

Bangkit dan wujudkan cita-cita

Biarkan pertentangan datang

Biarkan keterbatasan menunjukkan kekuatan

Hadirkan kebencian

Dan cinta kasih akan memperlihatkan kekuasaan

 

Hadirkan pengkhianatan

Dan kesetiaan akan menjadi keindahan

Hadirkan penderitaan

Dan kita akan mengerti kebahagiaan

 

Memang hidup bukan bunga cempaka

Bukan rumah yang hangat

Di mana ibu dan bapak selalu ada

Ataupun rangkaian pelukan tak berkeputusan

 

Bukan lodong yang diledakkan dekat lebaran

Itu sensasi, kata lain puas diri

Bukan pula pelor-pelor yang ditembakkan pada tawanan

Itu eksekusi, kata lain penganiayaan

 

Ya, keberadaan biarkan bicara atas namanya sendiri

Ya, rahasia penciptaan bukan untuk dicari

Tetapi untuk diungkapkan

Lewat kesadaran diri

 

Aku tak pernah ingat kapan aku dilahirkan

Aku tak pernah bertatap muka dengan Adam

Aku tak pernah ingat dari mana aku datang

Hanya kurasakan rindu yang tak berkeputusan

 

Rindu yang membawa aku ke rumah-rumah gelap

Namun terbuka semua pintu-pintunya

Membawa aku pada duka cita, amarah, dan dendam

Curiga tidak percaya, kecut dan takut, gerah gelisah

 

Dan sakitnya terpisah

Di mana matahari garang memanggang dan tak pernah tenggelam

Rindu yang dahaga

Rindu yang sakit jiwanya

 

Tuanku,

Apakah peredaran matahari dapat dihentikan?

Apakah dalam gelap harus selalu tersesat?

Tidak bisa selamat?

 

Aku ingin meniti pelangi dan memamah matahari

Ah, alangkah sulitnya mengikuti gerak api

Sebab empat penjuru angin selalu terbuka lebar-lebar

pintu-pintunya

Di mana aku berdiri angin menerpa pada setiap sisi

 

Pada langit kelam munculnya bintang

Dalam gelap adanya hati yang tetap

 

Hitunglah degup jantung

Dan ulang dan ulang

Dan ulang

Maka setan takkan berani datang

Bergeraklah berputar

Ciptakan pagar

Karena tak sselamanya dalam gelap

Harus selalu tersesat

 

Awan hitam lebur menjadi hujan

Kokok ayam menjadi peringatan pagi kan menjelang

Bahwa manusia mampu melakukan perubahan dan

mengolah mekanisme pertahanan

Ditegaskan dan disampaikan

 

Kalau ada gelap, ada terang

Aka ketetapan, ada perubahan

Ada perangkap, ada pembebasan

Ada sikap, ada jalan

 

Tak usah,

Tak usah ditanyakan di mana Tuhan

Tapi bunuhlah benih-benih pengkhianatan

Kuburkan dalam iman

 

Telah diciptakan kegembiraan dan kegundahan

Kewajaran dan keanehan, keyakinan dan keraguan

Dalam dinamika daur ulang

Berulang dan berulang

Di peringkat atas letaknya pusat kekuasaan

Di bawah sumber pemberontakan

Berulang dan berulang bertukaran

 

Daun-daun kering berjatuhan

Menjadi humus dan menyuburkan

Dalam hening aku tersadarkan:

Hidup tak perlu dilakoni

Apabila sia-sia belaka

Cinta tak dipelihara

Tak ada maknanya

 

Inilah aku:

Kegelisahan dalam kental kekecewaan

Berusaha membidik makna

Hidup teramat purba

Hidup duka

Hidup cedera

Hidup kita

 



Sekalaras, 1987 

=ARAHMAIANI=

WAJAH CINTA SEBENARNYA karya : Arahmaiani

Cintaku dihadapkan pada seribu muka

Pada mata, pada jemari

Ikal rambut, gelombang laut

Hati resah, jiwa gelisah

Warna gelap. Wanita

Dan lelaki tentu saja

 

Gairahnya terbang

Menyanyi di antara hati sunyi

Lelah perlu istirah

 

Cintaku pemberontak

Cintaku bau wiski

Cintaku banjir besar

Cintaku petaka:

Ingin merangkulmu!

(Koyak dan bunuhlah aku

Kasih aku waktu

Jadi satu sama kamu)

 

Apa wajah cinta

Wajahnya tikaman bola mata

Wajahnya sentuhan

Wajahnya pengakuan

Wajahnya ketidak-tahuan

Wajahnya tak terekam

Bermacam-macam

 



Bandung, 1983 

=ARAHMAIANI=

POESIE PROGRESSIE karya : Arahmaiani


 

Di dunia edan

Pemikiran rasio diberhalakan

Teknologi diimani

Progresi kata kunci

Puisi mati

 

Penyair

Sakit jiwa

Seperti Hamlet

Ditinggal mati bapak

Dikhianati ibunda


 

Hamburg, 1992 

=ARAHMAIANI=