Rabu, 02 September 2015

CANDI MENDUT karya : Sanusi Pane

Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Budha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini
Tidak berombak, diam semata;
Azas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi, kehidupan rata.
Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia Maya
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa,
Kedamaian Petala Nirwana.



=SANUSI PANE= 

CAK MUNIR DI AWAN karya : Asep Sambodja

kubuat prasasti
dengan jari-jariku yang mengeras
menahan selangit suara yang membisu
karena cintamu kandas di awan-awan

kuukir namamu
di lubuk hatiku yang kian koyak-moyak
melihat senyummu memudar
di balik awan

kutahu rindumu
seperti pernah kueja ayat-ayat Tuhan
yang memancar di sisi-sisi awan
di balik mega
yang merasuk dalam hatiku

kubuat prasasti
dengan sisa koyak hatiku, seperti dulu
ketika ibu membasuh lukaku
tak sekedar mengingatmu
tapi menjelmakanmu
mengarahkan tatapan tajam matamu
ke rongga-rongga penguasa
yang lalim
yang zalim
dan durjana saja



Depok, 10 November 2005
=ASEP SAMBODJA=

BILA PELAYARANKU SAMPAI karya : Isbedy Stiawan Z. S.

Kita telah sampai di pantai. Matamu jadi sampan, menyimpan
sobekan layar.
Kau sulap batang bakau jadi kemudi, dan kau biarkan aku merana di tepi
pantai ini.
Tak mungkin nuh akan kembali setelah kecewa mengenang putranya.
Serupa aku kini yang tak ingin
mengingat betapa jauh perjalanan telah dilintasi.
Kau lihat,kedua telapak kakiku
pecah-pecah, tak lagi bisa menulis silsilah
ombak dulu juga yang menghapus segala sejarah. Kenangan
kenangan tak bertanda,
tanda tanda yang tak terbaca.
Serupa buku tanpa lagi punya halaman

Kita telah berada di tepi pantai. Rambutmu jadi nyiur, wajahmu
menyimpan angin. Ombak
menanti kita berlayar di tubuhnya. Menggapai gemuruh,
memeluk pulau pulau-Nya.

Sebab, di laut ini aku jadi imam bagimu. menegakkan hati setiap
ombak menyapa. Dan, sobekan layar jadi sajadah
berwaktu waktu kita sujud. Meniupkan takbir
Kita telah sampai. Jangan lupa melayari ruh. sampan yang
menjelma dari matamu
membelah rahasia. Di mana mesti kupulangkan makanan ini,
sebab mihrab milik Imran
tinggal kenangan?
“Di mana pun kau melangkah, di situ mihrab kepunyaan-Nya,”
katamu. Dari wajahmu,
angin melajukan sampan. Kulintasi pulau demi pulau…
“O, bila pelayaranku ini sampai?”
Aku kehilangan tanya



2002-08-23

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

BERMAIN RUMAH DENGANMU karya : Hasan Aspahani

ini batas rumah kita, ujarmu, lalu kubuat garis di atas pasir
itu, jadilah denah rumah, dan tanganmu dengan kelincahan
yang selalu kukagumi menambahkan garis-garis lengkung
tanaman berbunga, di sini petunia, ujarmu, lalu alamanda,
dan difens, dan coleus, serta warna-warni begonia

ini kamar tidur kita, ujarmu, lalu kau sketsakan lelap tidur kita di
sana, kau imajikan warna, desain ruang, dan aroma melati
yang semerbak lewat jendela, dan sedepa dari sana kau
tanam wangi kenanga

lalu kau lingkarkan kurva melingkupi kau aku dan gambar
rumah kita, dan kau minta aku mengeja nama kita di pasir
itu, juga nama anak-anak kita yang telah lama kau reka

ketika laut mulai pasang, angin menggiring tangan-tangan ombak.
tiap deburnya sejangkal lebih dekat ke pantai bermain kita

kau cemas, tapi apa kata senja? terimalah ombak itu
karena ia akan mengabadikan rencana-rencana



menjelang mei1996
=HASAN ASPAHANI=

BERATUSKALI AKU MATI karya : Isbedy Stiawan Z. S.

beratuskali aku mati
belum juga dibuat nisan
namaku kembali silam
sehabis hujan

kukira aku sudah sampai
pada kematian pertama
nama yang tertera
saat janji dibaca
tapi mataku kembali
membuka halaman
dan kelindan awan
berbaris minta diucap
entah waktu mana lagi
akan benar-benar
menutup mataku,
usaikan ucapku
nisankukah itu
yang belum selesai?



26 September 2004

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

SAJAK karya : Korrie Layun Rampan

Kepalanya terbaring dalam awan
Mata diam terpejam
Di bawah lengkung alis yang kelam

Senyumnya merona pada pipi
Belai gadis dari mimpi
Hari pun mengangkat beribu kepak sayap merpati

Napasnya aroma bunga-bunga
Kerlingan hari-hari jelita
Terminal kereta cinta

Jemarinya melambai hari
kaki menapak padang bulan
lampai tubuhnya tersiram wewangian

Di dadanya tertanam pohon-pohon harap
Pohon-pohon duka
Kelam kubur cinta

Di matanya dunia hijau
Senda gadis remaja
Seribu senja Mengingau



1974
=KORRIE LAYUN RAMPAN=
Kumpulan Puisi Suara Kesunyian "Wajah Puisi"

SABBATH karya : Dina Octaviani

--chongt jz

kuberikan engkau hati
pada pertemuan yang tak memukau lagi
ruangan yang sama, tubuh kenal lama
ciuman dan percakapan yang tertata sebelumnya

tak ada mimpi di sini
engkau murung, ketika menyadari
cinta tak semeyakinkan waktu muda
dan tahu, tak ada lagi yang menunggunya

kita telah hidup di antara ketinggian kaca
gedung-gedung melumpuhkan angin
mikropon mengubah semuanya tak saling sapa

setiap datang sabbath, kata engkau
“seharusnya kita berdoa”
tetapi kita tak punya gereja
dan telah kehilangan hari libur

atau apa pun untuk diberikan
aku telah belajar memuja engkau
dan engkau membagikan luka cuma-cuma
maka kuberikan engkau hati

sebab milikmu telah engkau berikan
kepada yang lain



=DINA OCTAVIANI=

SAATNYA AKU MENGERTI karya : Isbedy Stiawan Z. S.

-buat ibuku Ratminah

sisakan garam dari tubuhmu, ibu. sudah bermalam-malam
kukeringkan air laut menajamkan pisau usiaku
tapi kenapa aku lebih suka menikmati garam yang diulang
dari tubuhmu?

aku tak pernah jadi perahu di lautmu, ibu. padahal
telah kurekam beribu-ribu ayatmu di hatiku. jadi lembar-
lembar kitab yang terbuka: tapi wajahmu selalu hilang dan
datang seperti gambar televisi yang tak mampu kubaca

ibu, ingin kukeringkan air laut dari tubuhmu hingga jadi garam
biar lauk hari-hariku punya rasa. ingin kuperas garam dari tubuhmu
dengan sejuta matahari yang kupetik dari pohon-Nya
saatnya kini aku mengerti garam dari tubuhmu sangat kurindu.
padahal
laut yang bergelora dari sela-sela hatimu mulai menepi, dan
aku kembali ziarah ke dalam mimpi-mimpi besarmu
yang belum juga seluruhnya rampung!

ibu, aku ingin kembali ziarah ke dalam pangkuan lautmu. seperti
perahu
yang masuk ke galangan lantaran telah karat. sebab peradaban
telah membuatku makin jauh dari lidah asin-manismu



Madura, Juni 1996
=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

RITUS BERAHI karya : Dina Octaviani

kautundalah bahagia
lalu rebah di bawah bayangan sendiri
masuk ke dalam kelam
meski tahu purnama tak pernah gagal

di sana,
barangkali masih melintang
tangis dan erang
mungkin selenting aba-aba lantang
menyerukan penyatuan lancang
: khianat usang

di sana,
semua tak pernah baik-baik saja
selalu gagap angin, nafsu purba dan derak jantung
: sebuah ritus suci atas tubuh yang hilang arti

kautundalah kenangan
lalu lupakan kematian
aku siap kautumpangi
jika luka kian seset di tubuhmu



=DINA OCTAVIANI=
kumpulan puisi bangkai tanjungkarang ( book : Biografi Kehilangan)

RITUAL MANDI karya : Hasan Aspahani

- 1 -

ia ingin ada yang memandikannya,
di sumur tempat mula dulu, ia menimba
umur, di sumur yang jernih airnya dulu
pernah membasuh matahari tiap pagi.

ia sudah lepaskan seluruh dirinya
tinggal jiwa yang telanjang, yang
menggigil teringat suara yang dulu
melepas pergi, dan kelak memanggil pulang.

- 2 -

hidup cuma sehari, saudara, cuma dua
kali mandi, kau mulai saat kau bayi,
lalu sekali lagi mandi ketika kelak
kau mati.

di antaranya? ah! siapa
yang suruh kau kotori
diri sendiri!

- 3 -

di suatu pagi, di kamar mandi,
sudah ia siapkan upacara, bersama
sabun yang tulus, handuk yang tabah
air di bak yang pasrah, gayung biru
yang tak pernah lelah, kran air
yang pemurah, sikat gigi yang ramah,
doa di pintu yang resah, juga sebuah
siul yang selalu gundah.

mestinya ia bersegera mandi,
"apa lagi yang kau nanti, saudara?"

"tunggu, tunggu! tubuhku,
di mana tubuhku!"

- 4 -

seperti archimedes, sudah berhari-hari
ia tak mandi, mencari jawab teka-teki
muskil itu, lalu di hari kesekian
di puncak ketidaktahuan, ditanggalkannya
seluruh pakaian, lalu diperhatikannya
tubuh telanjang di cermin besar di kamar
mandi itu, dan tiba-tiba ia merasa

telah menemukan sesuatu yang selama ini
ia cari.

"eureka! eureka!"

akhirnya...


- 5 -

cinta mereka tumbuh di mana-mana
dan terutama di kamar mandi, wah!
alangkah suburnya, alangkah suburnya

sebab cuma di sana, mereka punya
dua alasan untuk selalu telanjang
menanggalkan seluruh bayang bayang-bayang

alasan pertama, dan alasan kedua
rasanya tak perlu disebutkan dalam
puisi yang sopan santun ini

ya, di kamar mandi cinta mereka
tumbuh subur sebab mereka bisa
selalu kangen bertemu, untuk

alasan pertama, lalu melakukan
sesuatu dengan alasan kedua, atau
sebaliknya, atau sekaligus kedua-duanya

ya, di kamar mandi yang showernya
selalu mengucurkan air ke tubuh
mereka, cinta mereka tumbuh dengan suburnya.



Jan2003
=HASAN ASPAHANI=