Selasa, 29 September 2015

MENCATAT PERJALANAN karya : Isbedy Stiawan Z. S.

- RS -

tak ada lagi waktu bertutur. matamu jauh pergi ke palung malam, dan
sesunyi ini kali angin pun mati. tak lagi terdengar desau. hilang
sengau. gigigigimu beradu seperti mengunyah batu. sungai mengalir
hingga menghanyutkan tubuhmu. hanya mimpi yang tersangkut
di rumput erat kupegang. “malam ini, sepanjang jalan mimpi, hanya aku
menelan sisa langkah minum anggur sepi: kiranya kau urai
sunyi ini ke dalam dengkur setiap putaran
roda…”

perjalanan panjang, jalan mengelam. lengang berdebam. setiap menatap
depan hati pun berdebar. barangkali kita akan hilang arah, tak pernah
hapal tuju. di hutan malam yang rimbun kusasarkan dengkurmu, tapi
mimpimimpimu juga membayang; dengkurmu pula yang mengusikku.
“kita sudah jauh tinggalkan kampung, meski bayang rumah masih
mendengung. entah di mana peluh dibubuh,” aku mendesis. kau
mengiris selapis-selapis kenangan
ikhwal muli di rumah panggung, adin di kebun, dan atu
yang menguyup di sungai. kau tahu, aku belum juga fasih mengucap
bahasa ibu. terlalu jauh lidahku, bibirku kelu. aguy! apakah begitu
jarak lidah ibu dengan bibirku, untuk menafsir setiap tanda
tak mampu?

kini kau makin tenggelam ke dalam palung malam. udara sesunyi
angin pun mati. gigigigimu berpacu. menggergaji setiap kenangan
hendak membayang,
- ini lampung, rinduku membusung –

tapi kita sudah jauh berjalan. tak lupa kampung



lampung-palembang, 5-6 juli 2008

=ISBEDY STIAWAN Z

PENYU DI KOTA BANAL karya : Isbedy Stiawan Z. S.

aku benarbenar jadi penyu. hanya sebab sebagai tamu yang tak paham
bahasa ibu, aku tertipu. leherku terluka. bibirku bergetar kelu. aku hanya
bisa mencaciserapah. sebagai penyu di jalan asing tanpa pernah tahu
bahasa ibu, getar tanganku tak kuat melambai. langkahku berbatu:
apa kiranya Kota ini telah membuatku malu? melambai dan capai;
menjilati setiap debu. ah, sesungguhnya aku baru saja merutuk. leherku
luka, lidahku beku. setelah dibohongimu. sebab aku tak pernah belajar
bahasa ibu, yang selalu mengantarku kembali pahami jalan pulang

“ini cuma salah menafsir bahasa ibu. kau menyebut bulan,
semetara ia mendengar kata siang,” kataku sambil mendedah setiap
sukukata dan menghimpun jumlah kamus. kalau tikus tak akan mungkin
akan jadi harimau belang. di jalan ini tak ada binatang lain kecuali penyu,
katamu, seperti pelancong yang bertandang ke suatu kota baru, tapi tak mampu pahami bahsa ibu maka ia tertipu; lesap ke kelimunan berwajah malu, hati merahlebam sebab menyimpan marah dan sesal

di kota banal…



palembang, 6 juli 2008
=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

SUSU IBU karya : Isbedy Stiawan Z. S.

hari petang dan matahari sebentar lagi melenggang. aku masih berdepan-depan
dengan cahaya. kulitku berpeluh. sudah berapa waktu aku duduk di sini menunggu
yang datang dan berlalu, tapi kau tak juga tiba membawakan berita. masih
seperti tadi pagi aku menatah setiap yang tiba, dan memilah yang pergi. "jangan
dusta, karena aku tahu kau tak beramai-ramai di tempat itu. kau selu beharap
orang-orang pergi hingga yang tinggal berdua. sepasang kelinci lalu mencari
sarang kawin," kataku.

kau terdiam. akhirnya kau kirim berita: mereka sudah pulang beberapa menit
lalu, kini tinggal aku dan ia. kami memasak untuk makan siang. anak-anak
sejenak lagi datang dengan perut lapar. "kau suka cumicumi, sudah kusiapkan
sepiring. juga sambal terasi. makanlah dengan lahap supaya kau sehat."

kau yang dimanja meminta pula dibelikan susu. sejak kecil kau biasa minum
segelas susu—pagi atau malam kalau lupa boleh juga siang maupun petang—sebab
kata paramedis, susu dapat menjaga kesehatan atau memperkuat badan. apalagi
air susu ibu, katamu, itu sebabnya kau selalu menyusu di puting-puting yang
belum punya air.

habis sudah susu ibu, kau pun berkelana memburu puting dalam suasana
genting. di temaram atau remang ruang, di selokan maupun tepi trotoar. aduhai, saat aku mati kenapa lebih berat tubuhku daripada katil?

: habis sudah susu ibu. aku haus



Maret-April 2008

=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

AUDIENSI karya : Isbedy Stiawan Z. S.

: wm

kantuk merajamku. sudah empat jam lebih aku menunggu. “sory, bapak bupati sedang
sibuk, sebentar lagi wawancara dengan wartawan teve swasta lokal selama 1 jam. lalu
menerima tamu—sekitar 12 orang—satu persatu. jika seorang bertamu setengah jam
saja, ia melayani 6 jam di ruangnya!” kata ajudan. mata ajudan itu tampak layu.

sekarang sudah pukul empat sore, aku belum ashar, lalu giliranku pukul 10 malam?
aku mulai menimbang: “sebaiknya menemui bapak selepas magrib di rumah dinas, malam
ini ia menginap di sini,” saran seseorang lagi. Cuma aku janji pulang, berarti aku tak
bawa tangan

sudahlah di sini saja, di ruang ini. “Saya banyak tamu yang masih menunggu. Di sini saja,
apa yang bisa saya bantu?” tanya bapak bupati, tampak sangat lelah. kuberikan map
berisi proposal bertuliskan: “aku sudah belajar banyak dari bupati, jam di tangan seperti
mati.”

sejak di sini aku memang tak lagi mengenal detak jam, keluh bupati.



kalianda, 2008

PANTAI KETANG karya : Isbedy Stiawan Z. S>

sepi. batu-batu hitam gigil dan diam. berulang ombak menampar tetap tak memar. ia
menunggu pelancong, namun tak juga ada yang datang. seseorang melambai lalu
jalan. susuri jalan di tepi pantai. riuh dari tambak-tambak udang. kincir menyulang air
laut

“berapa lama lagi aku akan sampai di perkampungan? orang-orang pantai turun sebab dari laut ia hidup,” kata seseorang sambil merapikan temali.

dengan apa kunikmati debur ombak selain menerima debar? tapi jika sepi menangkup
lalu bersama siapa kubisa rasakan riuh?
sepanjang jalan pulang cuma wajahmu membayang: ah, segera
aku menemuimu saja untuk lelap di pangkuan pantaimu



kalianda 27/10/2008-bandar lampung 28/10/2008
=ISBEDY STIAWAN Z. S.=

SAJAK PALSU karya : Agus R. Sarjono

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.




1998

=AGUS R. SARJONO=

CIPTAKAN DUNIA BAHAGIA karya : Hans Bague Yassin

Alangkah rapuh badan manusia
Walau seabad hidup di dunia
Hanya sedetik di samudra masa,

Lebih lama waktu terasa
Lebih hebat menderita raga dan jiwa
Oleh dikacau nafsu kebendaan,

Di atas bumi sedang berputar
Hilangkan angkara murka
Ciptakan bahagia di stasiun antara
Dari keabadian ke keabadian



1945
=HANS BAGUE YASSIN=

KESASAR DI DALAM PIKIRAN karya : Hans Bague Yassin

Pernah kubaca, manusia angkuh berkata:
“Akulah puncak segala yang sudah.
Dan mengandung segala yang datang.”

Sunglap kata, sunglap pikiran,
Ahli pikir, ahli penyair, pujangga-pujangga.
Semua mereka berputar-putar
Ke sasar di dalam pikiran
Semua suara ‘lah pernah kudengar,
Yang bodoh, yang bijaksana,
Yang bijaksana sebijaksananya,
Berpuluh abad sudah tuanya.
Tiada ubah-ubahnya,
Ah, membosankan belaka,
Permainan khayal bagi orang tiada bekerja,
Melupakan dunia yang nyata.



1943
=HANS BAGUE YASSIN=

NEGERI TEKA TEKI karya : K. H. A. Mustofa Bisri


Jangan tanya, tebak saja 

Jangan tanya apa 
Jangan tanya siapa 
Jangan tanya mengapa 
Tebak saja 
Jangan tanya apa yang terjadi 
Apalagi apa yang ada dibalik kejadian 
Karena disini yang ada memang 
Hanya kotak-kotak teka-teki silang 
Dan daftar pertanyaan-pertanyaan 
Jangan tanya mengapa 
Yang disana dimanjakan 
Yang disini dihinakan, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Membunuh buruh dan wartawan 
Siapa merenggut nyawa yang dimuliakan Tuhan 
Jangan tanya mengapa, tebak saja 
Jangan tanya mengapa 
Yang disini selalu dibenarkan 
Yang disana selalu disalahkan, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Membakar hutan dan emosi rakyat 
Siapa melindungi penjahat keparat 
Jangan tanya mengapa, tebak saja 
Jangan tanya mengapa 
Setiap kali terjadi kekeliruan 
Pertanggungjawabannya tak karuan 
Tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Beternak kambing hitam 
Untuk setiap kali dikorbankan, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Membungkam kebenaran 
Dan menyembunyikan fakta 
Siapa menyuburkan kemunafikan dan dusta 
Jangan tanya mengapa, tebak saja 
Jangan tanya siapa 
Jangan tanya mengapa 
Jangan tanya apa-apa 
Tebak saja 



Rembang, Oktober 1997
=K. H. A. MUSTOFA BISRI=

GANDRUNG karya : K. H. A. Mustofa Bisri

o, damaiku, o resahku 
o teduhku, o terikku 
o gelisahku, o tentramku 
o, penghiburku, o fitnahku 
o harapanku, o cemasku 
o tiraniku, 
selama ini 
aku telah menghabiskan umurku 
untuk entah apa. di manakah 
kau ketika itu, o, kekasih ? 
mengapa kau tunggu hingga 
aku lelah 
tak sanggup lagi 
lebih keras mengetuk pintumu 
menanggung maha cintamu ? 
benarkah 
kau datang kepadaku 
o, rinduku, 
benarkah ?



=K. H. A. MUSTOFA BISRI=