Senin, 27 Juli 2015

UNTUK FRIDA KAHLO karya : Goenawan Mohamad

Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yang

diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada

harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah,

ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh …

 

Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan

lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam

dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?

 

Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah

lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah

Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,

dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan

yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky

Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’

Tapi di alis itu …

 

di alismu langit berkabung

dengan jerit hitam

dua burung

 

di ragamu tiang patah

di kamar narkose, ampul tertebar:

sisa sakit dan sejarah

 

tapi kijang yang tak menjerit di hutan

pada luka lembing penghabisan

adalah seorang perempuan

 

uluhati yang tercerabut

tapi terbang, menjemput Maut

adalah seorang perempuan

 

Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akan

pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telah

berangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas dan

kertas-kertas – manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi semua

berkata, “Tidak, Frida, kau, kita, juga Diego Riviera, telah

berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Dunia

sudah tak seperti dulu.”

 

Bukan apa-apa …

 

tapi di matamu kaulihat

piramid-piramid sakit

mencari air kaktus

pada pucat langit

 

Lalu kaulukiskan airmatamu,

seperti mutiara dan

putih cuka

di tembikar kulitmu

 

Di atasnya para santo

dan wajah Diego: praba dan cahaya

yang membakar kekal

mimpi Meksiko

 

 

Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida

menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup,

seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan – yang

telah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua – tak

ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka dari

kertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan:

elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.

 

Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase putih

yang tetap bersih dan Noguchi (di dada seorang perempuan, di

Manhattan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan raut

cemerlang, bunuh diri).

 

Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya – sebelum

orang mengangkatnya ke api kremasi – ada seorang yang

datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, “Frida, kau

adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di

percakapan dan ranum pisang dalam sajian makan malam.

Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”

 

Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama

yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak

tahu telah berubah lazuardi.

 

“Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yang

sementara?”

Benar, begitulah ia pernah bertanya.



 

1993-1994

=GOENAWAN MOHAMAD=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar