Kamis, 30 Juli 2015

SULUK TANAH PERDIKAN karya : Bambang J. Prasetya

(perjalanan metarual sepasang elang)

 

Sepasang elang hitam terbang

menembus cakrawala

kala langit kelam dan matahari tenggelam

meninggalkan wewangian misteri senja

 

”Kami sepasang elang pengabdi kata hati

mata hati

kami manjakan dengan tafsir kebenaran

berubah selalu menjadi prasangka

yang mensia-siakan

namun kesia-siaan itupun menjadi karib

karena setiap kenyataan

kami sandarkan pada kesadaran”

 

Sepasang elang hitam terbang

tak hirau angin berarak mendung

guntur menggemuruh badai

 

”Sampai letih sayap mengepak gairah

Singgah di bibir pantai

Menunggu kembali sang mentari

Mengeringkan keringat keletihan jiwa kami”

 

Sepasang elang hitam terbang

dari pucuk-pucuk ke tangkai kering

dari hutan ke rimba

dari matahari ke bulan

dari bintang ke malam

dari ujung cahaya ke kelam

dari kesangsian ke-tidak pastian

dari peradaban ke-biadaban

terbang!

terbang!

dan terbang!

 

”Angkasa raya

adalah gurun sahara ketabahan

yang ditumbuhi duri-duri warisan purba

yang menggoreskan luka

luka kami abadi

lukisan dewa-dewa

yang diwarnai mazmur suci”

 

seperkasa siang menerjang

tinggalkan ruang singkirkan waktu

mencari jalan pintu abadi

diikutinya lenggok tarian sungai

berlabuh di jaman suci

yang disangga tiang berhala kertas

bertumpukan di rongga batok kepala

 

”Keheningan itupun melahirkan keriuhan

dalam bahasa senyap batin kami

bahasa diam adalah gemuruh laut

menggulung setiap gairah kentalkan semangat

 

Terbang!

terbang!

terbang dan terbang!!

 

Kami terbang!!!

bersayap harap

Kami terbang!!!

memerdekakan diri

tak terikat oleh kata

tak terikat oleh bentuk

 

Kami terbang!!!

mengibarkan bendera

kami punya jiwa

 

Kami terbang!!!

melintas-lintas kerakusan iman

kami terbang!!!

terbang!!!!

 

Kami sepasang elang hitam

terbang!!

meninggalkan geram serigala di rimba kota

yang meninabobokan kenyataan

bagai barisan Kurawa

mendendangkan lagu kematian

di padang Kurusetra

tidak ada Janaka dan Werkudara

apalagi Yudistira berharap mencuci dendam

 

Genderang telah bertalu

merentangkan tangan membuka

seribu jalan matahari

Gendewa telah siap

kami tak punya warastra

kami tak tahu mesti berperang

melawan apa?

melawan siapa?”

Musuh tak berwujud

dendam tak berbentuk

patahkan saja anak panah

jika seruas keberanian pun sirna

mulailah mengibarkan bendera duka cita

di ladang sawah para petani

sebelum padi-padi menguning

sebelum jagung-jagung berbiji

dan burung, tikus, ular, wereng

berpesta pora

di tengah ruwatan jagad

 

”Nestapa membakari mega-mega

menyilaukan mata kami perih

ketika pasukan berangkat

menyebrangi batas

berbekal omong kosong semata

kami lelah menunggu monumen kepalsuan

kami ingin terbang!!!”

 

Seperti langit dan warna biru

sepasang elang hitam terbang

membiarkan senja menepi

tak berlabuh

dan dingin mengatup air laut

perjalanan ini pun jadi dermaga



 

1993

=BAMBANG  J. PRASETYA=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar