Minggu, 30 Agustus 2015

TAFSIR RINDU karya : Ali Syamsudin Arsy

 

Mendamai hati dalam gaduh-gemuruh;
darah untuk Yahya, sembahyang terakhir
dan ngilu tubuh batang pohon, gergaji perih

tubuh Zakaria
tetapi tetap bernyanyi. Nyanyian semakin tinggi
membelah malam, menembus siang
ke tingkap langit, lewat dingin api Ibrahim, tenang

Mendamai hati dalam gaduh-gemuruh;
damai, damai, damai, Perindu, Perindu, Perindu
getar kilat pedang Ibrahim, Ismail terlentang, Wahai
langkah tenang, kata-kata tenang
Perindu mengenang mata tajam, Muhammad tenang
pelayaran di atas riak gelombang, laju deru layar Nuh

Mendamai hati dalam gaduh-gemuruh;
damai Yusuf dingin dasar bumi
Yakup melangkah di terang jalan, aroma jauh

dalam kebutaan
ngingir kuman di tubuh Ayub. Sendiri dan sendiri
sendiri Yunus dalam lendir perut ikan
para nabi, para rasul bernyanyi dan bernyanyi

Menanti putusan terakhir di peraduan telanjang;
bagai tanah retak mencium bau gerimis
di ujung musim kemarau. Hujan, datanglah hujan
datang, datanglah datang
bukan hanya gerimis di siang. Bukan hanya bayang
ditempa sudah, diperam sudah, dicambuk sudah

Menjadi diri-sendiri ditempa diam Wahai;
Perindu membentuk-dibentuk, memusnah-dimusnah
dalam diam segala diam. Dalam diam ternyata

ada Wahai
ada gerak memahat jiwa, melukis sukma
o, Perindu menatap rembulan, perlahan menghilang
kemudian terbit siang. Mengerti adanya pergeseran

Mendoa di segala sikap;
ya, Wahai, tak ada yang dilupa untuk Wahai
segala dari Wahai. Tubuh ini, jiwa ini
segala dari Wahai. Langit ini, bumi ini
segala dari Wahai. Perputaran ini, tata surya ini
ya, Wahai, tak ada yang dilupa, selalu doa

Mengekalkan nama di pasir berombak;
Perindu merebahkan tubuh di hamparan pasir
menulis nama Wahai, di sana, datang ombak
datang laut. Tulisan lenyap tak dikehendak
menulis lagi. Sebuah nama hapal dieja
datang ombak, datang laut. Tulisan lenyap. Tulis lagi

Merajut serat-serat benang Kekasih;
benang-benang merah memulun hati, bergumpal
mencari pangkal, menangkap ujung
bergumul-menggumul. Perindu, penenun abadi
mencipta kain, tak tampak helainya
sebab untuk jiwa, siapa yang dapat menatapnya?

Merenungi lingkup kaki langit;
mengerti kecil, paham yang besar
mengerti buta, paham akan pengertian
siapa di dalam, silahkan keluar
siapa di luar, silahkan masuk, tetap menunggu
Perindu menggenggam keyakinan hakikat kaki langit

Mendulang ke dasar bumi, merabuk batu murni;
menembus lapisan demi lapisan. Cakar dibuka-bentang
tangkap membayang bagai sayap mengembang
mata tajam menembus sinar terang
sambil berzikir, bercakap pada sumber
oh, perindu, tak kenal lelah, bebatuan, dasar lautan

Menyelam ke dasar lautan;
meraih debu laut, bagai ganggang melayang
tertangkaplah jejak kerang. Mutiara di dalam
dari debu, pasir, mengeras gerah, Wahai
membatu berselimut cahaya
di dasar, Perindu, tersenyum menatap ingin

Melangit harap terhampar di bumi bergulung;
tak ubah tangis bayi, tangan mengulur pinta
semuanya harus tercipta. Perindu membayang angan
enggan berganti, enggan membagi, enggan berbagi
dengan langkah lain pun sukar mempercayai
sebelum dapat Wahai dalam pelukan

Mengulur timba sampai ke pucuk-lunas;
terasa ada yang tersisa. Masih
bila hanya mengukir di tepi-kali-luka, di luar
ke dalam menghirup sari pati
puncak segala puncak, pucuk segala pucuk
yakin bahwa dalam biji masih ada lembaga dan jiwa

Membilas wajah di bening telaga-danau;
di zaman debu
walau mengepul asap mengatas deru
hutan dunia menjadi ladang berburu
keruh segala keruh, lusuh segala lusuh
di gersang zaman debu. Setelah dapat mati tak apa

Berwudhu kumpulan embun, mencair di telapak;
manusia menghisap darah manusia
selain Perindu, Wahai, dan Kekasih
adalah mengental nanah dimamah, akh
Perindu berwudhu
membayang kerabat celaka, menimpa jauh dari Wahai

Berhembus ketika diam bunga;
rumput kering di muka, api di tangan membara
terkejut. Diam seketika. Kagum bertatap tiba-tiba
Kekasih. Datang, selalu datang
dan kemilau salam, gemamu tertangkap di taman
pertemuan tak terduga. Musim hujan, bunga

Menyibak kabut, mengurai benang kusut;
ketika badai mengamuk, bergelombang, bersahut
dengan cahaya membelah gumpalan hitam.

Darah siapa
selain duri dan debu
ternyata luka hari pun mengikuti
dan waktu selalu memburu. Bahkan di muka

ia menyeru

Mengisi lapar dengan batu kali-jalanan;
mengerti lapar tak kenal lapar
menggelepar. Wajah dipajang. Kotak kaca, oh, kejam
mulut menganga, membuih senyum berkembang
tengadah. Kaki bersila di tikar. Basah dari atas puja
tak ada yang lain, hanya Wahai Kekasih

Menggurun langkah-kaki telanjang;
mengerti panas, tak kenal panas
pasir batu lembah sumur kering haus duh duh
menyingkirkan asap dupa. Tak ada siapa-siapa
Perindu, gila dalam kesendirian. Alfa untuk yang lain
bebas menyiksa. Batin termakan bisa, memakan bisa

Menepis waktu;
bila sudah begini, Perindu tak dapat dikekang
walau waktu. Hari-hari pun lepas dari pandang
sepi bergelut. Sendiri, sampai sendiri
tak kenal tepi. Menangkap untuk segera berhadap
Perindu selalu lekat, tak lepas dari dekap

Membunuh raga, menyalakan jiwa;
darah dari jantung, menetes luka, bukan apa-apa
segalanya untuk Wahai. Berseru, mencipta gema
memantul di setiap sudut, untuk Wahai
Perindu menyeru, memanggil deru
enyahkan serpih-serpih debu, untuk Wahai

Bergumam dalam mimpi;
datang, datang, datang. Tak jauh, tak pergi
Perindu tidur nyenyak dihembus angin
hanyut dalam badai, tak kenal badai
hangus dalam api, tak kenal api
akh, mari, ke sana- ke mari, untuk, dan … aakkhhh

Menembus batas-jalan kawat berduri;
dalam perang, Perindu tertembak, luka, limbung granat
lalu tertusuk panah, membiru, bercecer

darah di pundak
datang pedang membabat, mencencang tulang
luka demi luka belum kering, perindu berucap:
“Bertemu di sini, Kekasih,” tersenyum

menatap Wahai

Menyimak suara-suara dalam tangis bayi;
“Oh, janjiku pada dunia. Berwarna, bersilang
setujuku berarti hidupku. Dari Wahai aku ada
perjanjian hidupku adalah tanggung-jawab diriku
aku, bagaimanapun juga akan menuju sendiri
yang lai adalah udara untuk napas-hidupku.”

Menyimak suara-suara dalam tangis bayi;
“Oh, tatapku yang pertama, tangisku, air mata luka
jalanku di dunia. Jalan harapku di sana, Wahai
jalan yang berliuk-garis. Lekuk-melekuk, Wahai
bercabang, beranting. Lurus, meliuk, melingkar
tak terduga, samar pada mata terbuka-telanjang.”

Menyimak suara-suara dalam tangis bayi;
“Oh, biarkanlah aku melangkah ke diriku yang aku
setiap engkau adalah dermaga yang sementara
begitu pula dermaga-dermaga yang lain
di ujung perjalananku, di sana, bersama Wahai
ada aku yang setia menunggu, sampai aku tiba.”

Menata diri dalam dekap sepi;
di tempat yang sepi, diriku berdiri, sendiri
berbenah dan menata bekal, menuju peristiwa diri
untuk sebuah jaringan perjalanan, bulat-berbelit
setiap langkah adalah lingkaran
setiap buhul adalah istirahat yang tidak kekal

Menyusun kata di dinding angin;
ia adalah saksi setiap perjalanan
ia adalah bukti adanya kehidupan
tak akan hilang. Abadi. Ya, abadi
karena angin selalu ada. Bergerak. Ya, derap
penyampai pesan antara bumi dan langit

Melayang di arus tata surya;
alam bunga, alam bunga, alam bunga. Zikir ditata
simaklah dengung nurani bergema. Cahaya
bersimpuh. Mata terkatup, duh, Kekasih
putar-berputar. Bagai gabus, tenang di muka air
hanyut bersama cahaya matahari dan bulan

Berselimut dingin cuaca;
dalam kamar remang, telanjang diri, bercakap sepi
membuang cakar, enggan berbagi
oh, dingin. Perindu membaca diri

pada cermin masa lalu
yakin tak kuasa, tapi menguasai-dikuasai
memeluk Wahai. Oh, matahari di kamar ini

Meneguk duri sari bunga;
tak bertanya di mana kini. Mabuk, mabuk cuaca
mata-angin pun tak peduli, siapa
melingkup kelopak bunga, memamah durinya
seteguk bertambah teguk untuk mabuk.

Racun diteguk
Perindu duduk-bersila, mengucap zikir,

sebut-menyebut

Menangis bahagia, kuntum teratai;
maaf menghapus dusta, teratai
air mata menjelma bening danau. Tampak dasar
berbatu, perindu membungkam keruh.

Tenanglah teratai
berkuncup putih, kuning sinar di tengah
daun melebar mengundang datang, Wahai

Berulang menatap rupa di telaga;
tanpa menyentuh permukaan, bening dan tenang
menikmati riak kecil gelombang, ditiup angin
sehelai daun jatuh melayang, pelan
tanpa mengusik keasyikan. Malam dan siang
mengenal sampai ke lekuk-lekuk. Rupa demi rupa

Menata debu, pasir dan batu, seakan bisu;
membayangkan berdirinya istana dan menara di sana
sinar lampu di puncak. Tinggi menyebar bunyi
apa, siapa, mengapa, di mana, untuk apa, dari mana
Perindu bekerja sendiri, lalu sendiri, seakan bisu
Perindu membuta sekeliling, semua dianggap gila

Menantang maut di jalan sepi;
menolong sudah, ditolong sudah
berdiri di titik kosong. Ada yang ditunggu, datang
petuah sudah, nasihat sudah
tegak, pasti. Tak akan berpaling, datanglah
juga tak akan undur, walau selangkah

Tafakur dalam setiap ruang-waktu;
dari sendiri kembali sendiri
dalam pikuk pun tetap di tengah sepi
mengerti gaduh, tak kenal gaduh
mendengar lalu menyimak, mencari lalu menangkap
berzikir tentang diri, sadar akan kembali

Berdesir membisik angin;
Wahai, Perindu di sini, tak berbilang kata untukmu
di luar dan di dalam sama. Rata diputar cuaca
menyimak titik-titik embun
membercik ke lantai kamar gerimis
sebelum hujan. Salam untukmu, Wahai, Perindu di sini

Menabur benih di ladang;
sebagai tempat berhadap. Di taman, Perindu datang
semua warna ada. Jangan tinggalkan, Wahai
bisik desau di dahan
kembang kuncup merekah semai
Perindu akan segera menuai

Melingkar jalan di titik putar;
sapa dan salam, bermula dari jauh, untuk sampai
bentangan harap sudah panjang, sejak mengerti
ketika lupa arah semula. Kembali ke pangkal
bayangan tak lepas, sinar dan cahaya
pertanda Perindu paham di mana sumber

Menolak bias jalan hujan keabadian;
Perindu menadah lurus jalan. Dari atas ke bawah
bukan percik yang diraup
langsung ke sumber, inti pati, jatuh, lurus
tegak dari atas ke bawah. Bukan dari tangan lain
sejuk Wahai Kekasih. Tak ada yang lain,

walau bayang sendiri

Bertolak dari jauh menuju dermaga istana Wahai;
riak demi riak, mendekat
ombak demi ombak, mendekap
dermaga, istana Wahai, menggapai-gapai
mesra menyambut. Samar-samar tertawa
mengecup duh senyum tanah pijak, tanah harap

Menyusun tulang-belulang sendiri di pusara;
di tengah ruang sempit ini, ya, pusara
tak ada yang dapat melepaskan pengikat jiwa
kulit hancur, daging hancur
tinggallah tulang-belulang tersebar, sementara
kemudian disusun ke aslinya. Lalu lenyap juga

Meniti di tangga tingkap langit biru;
satu-satu dilewati-melewati
sampai ke batas puncak paling tinggi
di sana bernyanyi, mengucap salam
Perindu datang, sendiri-sendiri
Wahai membalas salam, membalas nyanyi



 

/Durian Gantang 1989 awal tulisan,

penyelesaian di daerah Sebamban 1991

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar