Minggu, 30 Agustus 2015

BULU MATA GALUH CEMPAKA karya : Ali Syamsudin Arsy

(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku 

hanya melahirkan duka lara  

maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah 

gumpalan sakit  berpuluh sakit

sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit, 

engkau berduyun datang  

di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )

 

ternyata harum bau tanah  ternyata subur lapisan

bawah tanah

tak jua menghilangkan rasa percuma

gegap-gempita,  hanya untuk sorak-sorai  

orang-orang yang datang

dari kejauhan

melangkah pasti

sampai ke batas-batas kepunahan

di sini  tetap sebagai rumpun-rumpun ilalang yang mati

 

(bila kemilau dan  fuah - rahasia itu  tak mampu menuntunku  

ke wilayah-wilayah capaian  maka amarah pun membara

sampai ke bulu-bulu mata,

akulah si Galuh Cempaka,  lahir dari mitos-mitos

perkampungan  

di tanah-tanah lubang pendulangan; akulah yang melagukan

derap di keheningan hutan-hutan, akulah yang melagukan

pikuk di gamang-gamang harapan, akulah yang melagukan

riwayat-riwayat perjalanan, akulah yang melagukan

kematian raja-raja  

sampai berlapis-lapis turunan, akulah;  laguku lagu kemilau  

di lingkaran mahkota raja-raja, laguku lagu cahaya

di anggunnya suri-suri penguasa,

laguku lagu darah yang membasah di anak tangga setiap istana;

akulah yang melagukan, akulah, akulah itu  sebagai lagu  

si Galuh Cempaka)

 

ternyata  kemilau itu  tak jua sampai kepada harapan,

orang-orang di lingkaran lubang-lubang galian

ternyata  f u a h  - rahasia itu telah ditangkap

sebelum harapan,  orang-orang dengan peluh setajam tirak  

tetap saja berdiri kaku  diam tak bergerak

ternyata  riwayat dari mitos itu selalu saja 

menggelinding menjauhi,

orang-orang  dengan kepal mengeras  di linggangan waktu pun

tak pernah berpihak

ternyata banyak riwayat perjalanan tak pernah menuntaskan,

orang-orang terjebak di dalam sulung-sulung bertingkat

ternyata  perjalanan darah itu adalah sejarah, 

orang-orang saling menatap  di bibir  lubang surut – lubang dalam

jebak lumpur kepunahan

 

(bila garis lurus ditarik dari  Ampar Tikar  Riam Kanan 

Mandikapau  Tiwingan

Rantau Bujur  Rantau Alayung  sampai

kepada  Gompong  Sungai Besar  

dan bertemu titik di  Awang Bangkal 

maka  adakah geriap di setiap ucap  

zikir mereka,  padahal ada geliat Trisakti, melewati batas

benua, ada Galuh Cempaka, sebagai wujud dari beragam

legenda,  ada Galuh Bulan, bermuasal mimpi kapala lubang  

ada Galuh Badu, selain bermimpi di arus bening tanah

Bati-bati,

ada yang kini terkesima dengan  si Putri Malu mimpi

yang terputus

dalam igau tidurmu,  wahai para pendulang  yang duduk

termangu,  dari dahulu

sampai sejarah berulang kini,  tetap duduk termangu 

bila musim hujan datang

menerjang sepi  lingkaran linggang-linggang  melepas

goyang goyang di riak

pemisah batu lumpur dan kemilau  sampai berharap  sampai

berangan menjauh tangkap di lunas kaki berpijak; sampai

desauku di pelepah dahan  

sampai risauku di rimbun daun,  sampai galauku di rimbun

tulang;  akulah si Galuh Cempaka  asal pungkala  sebab

darahku meriap sampai di bulu-bulu mata)

 

lagu hujan  di lubang-lubang galian

lagu sampai para pendulang

sejarah batu melepas mimpi

berangan-harap  sampai  di gigil tulang

lubang-lubang merekah  lubang-lubang  luas menganga

sulung-sulung waktu itu  melinggis darahku,  darah si Galuh Cempaka

nasib yang bertali beban

pundak dan langkah terseret dirunduk ngilu

pusara pusara pusara,  tak mampu  menepis enyah

pusaka pusaka pusaka,  tak mampu menipis resah

lagu-lagu di turunan hujan itu selalu saja

melempar lambai  anak-anak gemulai

lagu-lagu di tikungan hujan itu  sama saja

menolak lambai  wanita-wanita penunggu belai

lagu-lagu hujan itu,  sebagai penanda

riwayat sedih datang berulang

lagu-lagu hujan itu

 

(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku 

hanya melahirkan duka lara

maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah 

gumpalan sakit  berpuluh sakit

sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit,  engkau

berduyun datang  

di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )

 

bulu mataku  bulu si Galuh Cempaka

tiris atap rumahku

tak sebanding kilau  melepaskan cahaya

 

(bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku 

hanya melahirkan duka lara  

maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah 

gumpalan sakit  berpuluh sakit

sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit,  engkau

berduyun datang  

di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )



 

/asa, banjarbaru, 21 desember 2008

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar