Selasa, 25 Agustus 2015

MIGRASI TANPA AKHIR karya : F. Rahardi

 

Serangga makin tipis

Tampaknya tak ada lagi pohon-pohon

Tinggal jejak buldoser

Ribuan kilometer

semua capek

mata berkunang-kunang

kepala pening

otak mampet

tulang linu-linu

 

Semua tampak berwarna merah

langit merah darah

cakrawala merah darah

di bawah yang tampak hanya

canggal-canggal kering

yang mencuat, berwarna merah

di sela-sela jejak buldoser

 

Meskipun capek, ngantuk, dan loyo,

para kampret itu terus mengepakkan sayapnya

ke arah utara

kepakan sayap itu makin lemah

tiba-tiba seekor kampret

tak lagi mampu mengepakkan

sayapnya lalu meluncur jatuh.

 

“Ada teman kita yang jatuh.”

“Ya, dia pasti mati.”

“Kita istirahat dulu.”

“Ya Oom, aku capek sekali lo.”

“Kenapa semua jadi tampak merah.”

“Itu kok ada pohon-pohon natal,

tapi warnanya kok merah begitu?”

“Iya, ya, semua kok tampak merah begini sih?”

“Lo, bukan hanya langit dan tanah

dan pohon yang merah.

kamu juga merah kok!”

“Kita semua merah.”

“Ya, kita jadi merah!”

“Tidak, kita tetap hitam.”

“Ya, langit ya tetap biru.”

“Tanah ya cokelat, pohon-pohon hijau.”

 

“Kita sebaiknya tidak terbang

pada siang hari.

Terlalu riskan.

Lebih baik istirahat di bawah sana

sebentar lagi hari akan siang.”

 

Kampret-kampret itu lalu menukik turun.

Hari berangsur pagi.

Suhu udara dingin,

sangat dingin.

Tapi sinar matahari

dari celah tajuk pinus itu hangat.

Belantara hutan-hutan tropis

di daratan Sumatera itu

sudah selesai dibabat habis,

diratakan.

Dibajak.

Dan kemudian tumbuh Eukaliptus,

pinus merkusi dan akasia.

Ini hutan tanaman industri Bung!

Manusia makin perlu kertas.

Untuk menulis.

Untuk bungkus kado.

Untuk dibuat majalah dan buku.

Untuk lap keringat.

Untuk cebok.

Kertas itu penting untuk manusia.

Juga tusuk gigi.

Sumpit untuk makan mi.

Peti-peti sabun.

Juga peti mati.

Semua itu penting.

Sangat penting.

 

Untuk keperluan sumpit,

peti mati, kertas,

tusuk gigi dan lain-lain itu,

hutan tropis ditebas habis

lalu diganti akasia,

Eukaliptus dan pinus.

Gajah tergusur.

Tupai tersingkir.

Trenggiling mati.

Kodok terpojok

dan semut-semut bangkrut.

 

Di tengah hutan Eukaliptus itu

ada sebuah base camp kokoh,

karena terbuat dari kayu-kayu yang bagus.

Para kampret itu masuk lalu

bergelantungan dan tidur.

 

“Kita capek sekali ya Oom?”

“Ya, rombongan ini tingggal berapa ekor sih?”

“Enam puluh pak.

 

Kemarin masih enam puluh satu.

Tapi tadi pagi kembali ada yang

nyungsep lalu matek

di tanah yang dibuldoser tadi.”

 

“Lama-lama habis ya kita ini.”

“Oom, kenapa kita nggak sampai-sampai

sih? Aku bosan lo?”

“Sampai ke mana?”

“Ya, kita ini mau pergi ke mane?”

“Kita tidak pergi ke mane-mane!”


“Aku bosen.

Aku bosen dengan

perjalanan panjang,

yang brengsek ini.

Aku mau berhenti di sini.

Aku capek.”

“You akan mati di sini.

Akan mati kelaparan.

Di sini tak ada belalang.

Tak ada nyamuk.

Tak ada kepik.

Tak ada kutu loncat.

You pasti mati.”

“Biarain

Semua nantinya kan pasti

mati.

Ngapain jauh-jauh amat

sampai Sumatera begini?

Enakan di Jawa sana,

Kita dapat mati

dengan sangat tenang.”

“Ya, aku mau berhenti juga.

Capek!”

“Aku juga.”

“Aku juga ogah ah kalau

terus-terusan jalan tanpa tujuan!”

“Siapa bilang kita jalan tanpa tujuan!

Jangan ngaco ngomongnya!”

“Betul Boss!

Tujuan kita sangat jelas.

Kongkrit!”

“Kedamaian abadi.

Kita menuju ke kedamaian abadi!”

“Kedamaian abadi itu kentut.

Aku jadi muak dengan slogan

gombal begitu!’

“Diam semua!

Dengarkan!

Yang masih mau jalan

ayo ikut di belakangku.

Yang ingin pulang ke Jawa

ya sana pulang.

Yang ingin tetap di sini

ya silakan.

Dari dulu kita merdeka.

Tak ada tuntutan.

Tak ada paksaan.

Jadi jangan ribut.”

 

Kampret-kampret itu lalu diam.

Sepi.

Hanya ada bunyi daun Eukaliptus kena angin.

 

“Setelah menempuh jarak

demikian jauh

kita lalu jadi dapat menikmati

perjalanan ini

tujuan lalu menjadi tidak begitu penting.”

“Jadi Gua kapur yang sepi dan nyaman tidak lagi penting Oom?”

“Tidak.”

“Hutan yang perawan juga tidak perlu lagi Oom?”

“Tidak.”

“Mau perawan kek, ibu-ibu kek,

janda, nenek-nenek,

semua tidak lagi problem.

No problem!”

“Ya, no problem.”
“Pokoknya cuek.”

“Kita jalan terus.”

“Anjing menggonggong kafilah berlalu.”

“Rawe-rawe rantas malang-malang putung.”

“Jalan adalah jalan.”

“Sumatera kita jelajahi

Acah kita tonton dari udara.”

“Ke Malaysia mau nggak?”

“Ke mana sajalah, singapur,

Vietnam, Jepang, Kalimantan juga boleh.”

“Bagaimana kalau ke Eskimo?”

“Kutub Utara saja sekalian

kita lihat Aurora.”

“Sekalian saja ke Mars.

Planet biru ini lama-lama juga membosankan.”

“tidak.

Kita harus kembali ke Eden

Firdaus

Itu lo yang dulu pernah dihuni manusia

Adam dan Hawa lalu ditutup Tuhan.”

“Ya kita harus bermigrasi ke sana

mari teman-teman

 

Sumatera, gua kapur

hutan perawan

kutu loncat

semua jadi tidak penting

kita sudah menemukan kembali tujuan kita.”

“Kompas kita ketemu.

Arah itu tampak jelas sekarang.”

“Firdaus.”

“Keabadian.”

“Ya kita akan ke sana

apa pun yang kita lakukan.”

“Sekarang tidur.”

“Nanti malam kita nyaplok nyamuk

lalu terbang menjelajahi planet ini.”

“Sip.”

“Pacaran, kawin, beranak

masih boleh ya Oom?”

Tentu,

semua harus tetap normal.”

“Oom sendiri?”

“Ya, nanti juga harus kawin

sama siapa kek,

pokoknya betina

kita harus jadi banyak

dan bertahan hidup.”

 

Sore itu matahari

dengan anggun

dan pelan sekali

angslup di antara pohon-pohon akasia

udara jadi makin dingin

para kampret menggeliat-geliat

mencicit-cicit

menggerak-gerakkan sayap

lalu terbang meninggalkan base camp itu

dengan gembira mereka mencaplok nyamuk,

belalang, kepik dan kutu loncat

mereka terus bertambah banyak

dan terus bermigrasi

entah sampai kapan

entah sampai ke mana

menghindari keserakahan

manusia

 




=F. RAHARDI=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar