Minggu, 30 Agustus 2015

GUGAT : DIANG INGSUN karya : Ali Syamsudin Arsy

selembar harapkah yang terbayang ketika restumu

membuka jalannya

menuju harum tanah, tanah seberang

Segumpal salahkah yang membentang ketika badai itu

merintang langkahnya

menuju diam, diam sediam batu

 

seperti kabar telah disampaikan bahwa kedatangan putramu

mengetuk daun-daun pintu, sebelum terbuka

   lantaran angin menderu

engkau telah bertahun-tahun penantian; rumah

   tak lagi berpintu,

jendela, perintang cahaya pagi, terbuka selalu

mata lusuh sampai ke batas-batas kelu

alas bantalmu, alam bantalmu; adalah wajahnya

   yang engkau tunggu

 

naluri seorang ibu, harum baju dan lambai kerena restumu

dahulu, sejarah yang itu menuju kekosongan waktu

ujung jemari yang kian gemetar, tegak melurus lidi sapu

 

“… anakku anakku, ia yang berdiri itulah anakku

singkirlah ke tepi, dermaga ini telah lama mati

selaksa hari yang memenuhi hari-hari

hanya menanti, tak ada yang lain, hanya menanti

biji-biji kapuk di bantalku bertumbuhan daun-daun

air mataku telah menghumuskan pembaringan

antara gerai rambutku yang terselip di sela-sela bayangmu

pelupuk mata ini tak dapat berpejam sebelum hadir

aroma tubuh kecilmu, teramat kukenal selalu …”

 

di langit, elang mengepak berputar-putar

kulik-kuliknya menyambut putramu di balik bukit perahu

 

di sini, di rerimbun daun dan gemericik air di batu-batu

sejarah, entah dalam catatan siapa, telah terbaca

   beragam aksara

tentang hebatnya gemuruh samudera

dari gigil yang dilontar, dalam tengadah

 

“… anakku anakku, ia yang berpaling itulah anakku

singkirlah ke tepi, dermaga ini telah lama mati!!!”



 

/asa, banjarbaru, 12 januari 2011

=ALI SYAMSUDIN ARSY=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar