Sabtu, 28 November 2015

DOA MANIS BUAT TUHAN karya : M. Fadjroel Rachman

Tuhan, turunkanlah hujan untuk bayam, tomat

dan sawi kurus yang kami tanam

Aneh, hanya dingin bebatuan yang setia

menyegarkan batang-batangnya

Setiap malam dari balik terali besi kuhisap

udara kering dan embun tipis, berebutan

dengan bayam, tomat dan sawi kurus

Kenapakah hujan tak turun jua? Ada apakah

sebenarnya di balik cuaca?

Mungkinkah uap air telah dihisap pepohonan

besar, jalan-jalan besar, rumah-rumah besar

dan paru-paru orang besar di kota-kota

Dan kamu?

 

Aku tak tahu, aku tak tahu

Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,

            mengusap lembut terali besi dan wajahku

Sebab si pencinta bayam, tomat dan sawi hanya

            mampu bertanya ke arah langit

Bukankah langit telah menganugerahi orang-

            orang bijak dan berkuasa, martabat untuk

            menuangkan jutaan kata-kata di benak kita

            yang lelah. Walaupun kulit perutmu lengket

            tulang perutmu

Inilah hidup, inilah kepastian, kata mereka

 

Aku tak tahu, aku tak tahu. Bukankah Tuhan

            membuat miskin dan membuat kaya, Ia

            meninggikan dan merendahkan juga

Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,

            mengusap lembut terali besi dan wajahku

Dari ujung sel kudengar lagu dangdut merintih-

            rintih tentang penderitaan hidup, lalu

            kudengar desah genit si penyiar wanita,

            “Salam kompak selalu dan selamat

            menempuh hidup baru buat X di jalan Y dari

            gadis Z di gubuk derita”

Hai, hai siapakah yang berbahagia dan

            siapakah yang menderita?

 

 

Lalu kedengar ramalan bintang

“Buat pendengar yang bernaung di bawah

            bintang Caprocornus, rejeki dan kebahagiaan

            minggu ini bersama anda dan asmara si dia

            makin mesra saja, kesehatan anda pun makin

            sempurna, hindari makanan berkalori tinggi”

Kemudian aku menatap sisa ikan asin yang

            dikerubungi semut-semut hitam, lalu perlahan

            meneguk air teh pahit di cangkir berkarat

Kuhisap udara kering sambil menyanyikan

            Indonesia Raya; tetapi kenapa hatiku semakin

            sepi dan asing saja (Inikah bangsaku, inikah

            manusia yang berakal-budi?)

Cahaya bulan pucat menerangi bumi

            sekarat, mengusap lembut terali besi dan

            wajahku

Aku menekan wajah ke sisi terali besi dan berdoa

“Selamat malam, Tuhan, salam kompak selalu,

            siapakah yang berbahagia dan siapakah yang

            menderita?”

 



Kebon Waru, November 1989

=M. FADJROEL RACHMAN=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar