Minggu, 28 Juni 2015

SEMBILAN BURUNG CAMAR TUAN YUSUF karya : Taufik Ismail

Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama

Tuan Yusuf,

dan memandang bekas tumpak bumi

yang pernah menating jenazahnya.

Kemudian lihat saya keluar bangunan itu,

pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar,

tiada bernama tapi berukir Asmaul Husna.

Di situ empat orang terbujur

mungkin ulama, mungkin komandan pasukan

Tuan Yusuf,

mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten.

 

Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitam

menunjuk cakrawala langit Afrika.

Ikutilah kini saya surut tiga abad mengingat-ingat

jalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan.

 

Dengar angin bertiup di Faure waktu itu

mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman

di tanjung paling ujung

mungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan.

 

Lihat dedaunan musim rontok pada dedahanan

mengitari teluk bermerahan

yang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti.

 

Dapatkah kita membayangkan

Tuan Yusuf

seorang sufi yang cendekia

zikir membalut tubuhnya karangan mengalir

melalui kalam terbuat dari sembilu bambu

dengan dawat berwarna merah dan hitam jadi buku

dalam tiga bahasa

 

Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberani

tersusun dalam peti

berlayar lebih 10.000 kilometer lewat dua samudera

suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar

di pesisir Celebes buang jangkar

lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat

ke dalam bumi Lakiung dekat tempat

ibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya.

 

Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmu

ya Syekh

karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad ini

tidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah

dalam potret cat akrilik lima warna

namun kubayangkan sajalah kira-kira

wajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam,

bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsing

berbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu.

 

Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan.

Dan sebenarnya di lubuk hati Gubernur

dan manajer-manajer maskapai dagang VOC

yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu

mereka kagum pada Tuan.

Tapi mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon,

lalu 10.000 kilometer ke benua ini

karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas

disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besi

begitu kubaca catatan mereka.

 

Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh?

 

Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega,

lepas meluncur cepat dari Gunung Meja

yang memandang dua samudera.

 

Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata

kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu

Syekh Yusuf

telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu.

 

Aku mendengar zikir mengalir

lewat sembilan burung camar

yang sayapnya seperti berombak menyanyi.

 

 

 

Cape Town, 26 April 1993

=TAUFIK ISMAIL=

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar